Jakarta, CNN Indonesia — Menurut riset berjudul ‘Navigating Market Opportunities in Indonesia’s E-Commerce’ dari Sirclo, penjualan ritel e-commerce Indonesia diperkirakan mencapai US$15 miliar (setara Rp210 triliun) pada 2018 dan akan meningkat lebih dari empat kali lipat pada tahun 2022, menyentuh angka US$65 miliar (setara Rp910 triliun).

Founder dan Chief Executive Officer Sirclo, Brian Marshal mengatakan dari prediksi tersebut, ritel online yang tadinya hanya menyumbang 8 persen dari total penjualan pada tahun 2018, diprediksi akan menembus 24 persen di tahun 2022.

Kesuksesan platform e-commerce disebut tak bisa dilepas dari dukungan dan inovasi dari e-commerce enabler. E-commerce enabler adalah perusahaan yang menyediakan layanan strategi digital A-Z (end-to-end) ke unit bisnis lain yang ingin menjual produknya secara online.

Meskipun model bisnis ke bisnis atau B2B ini masih terhitung baru di industri dagang digital, layanan yang dihadirkan pun beragam. Beberapa di antaranya meliputi produksi konten, pembuatan halaman Official Store di marketplace, eksekusi pemasaran, integrasi kanal penjualan online, hingga pengiriman produk ke pelanggan.

Di Indonesia, berikut lima e-commerce enabler yang diklaim mampu merebut pasar digital di Indonesia dengan portofolio klien yang beragam:


(ADS) e2eCommerce Indonesia 2020 adalah pameran ekosistem eCommerce. Anda bisa membaca Post Show Report 2019 secara gratis klik di link ini dan jika tertarik menjadi eksibitor, tinggal klik link ini untuk informasi lebih lanjut bisa hubungi +62 21 2263 8635


Sirclo

Sebagai e-commerce enabler terdepan di Indonesia, SIRCLO melayani ratusan pemilik usaha untuk meningkatkan penjualan mereka di berbagai marketplace seperti Tokopedia, Shopee, Lazada, Bukalapak, dan Blibli.com.

Melalui SIRCLO Commerce, perusahaan ini menangani proses penjualan end-to-end di marketplace, mulai dari pengaturan stok hingga pemasaran produk. SIRCLO mengelola lebih dari 200 brand, dengan nama-nama klien global seperti Reckitt Benckiser, KAO, L’Oréal, Eiger, Levi’s, dan Unilever.

aCommerce

aCommerce merupakan e-commerce enabler yang berpusat di Bangkok, Thailand. Didirikan pada tahun 2013, kegiatan operasionalnya tersebar di beberapa negara Asia Tenggara, seperti Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina.

Sejumlah kliennya yang tercatat pernah dikelola diantaranya Adidas, Abbott, Samsung, dan Nescafe.

Jet Commerce

Jet Commerce pertama kali didirikan pada tahun 2017 sebagai mitra distribusi resmi Alibaba.com. Seiring berjalannya waktu, Jet Commerce kemudian merambah ke industri e-commerce dengan menyediakan layanan terpadu untuk brand yang ingin berjualan secara online.

Saat ini, Jet Commerce beroperasi di sejumlah negara yaitu Indonesia, Thailand, Vietnam, Filipina, dan Tiongkok. Dalam situs resminya, portofolio klien Jet Commerce meliputi Pedigree, Oppo, Sariayu, dan Shiseido.

LincGroup (8Commerce)

LincGroup memiliki spesialisasi di bidang manajemen rantai pasok. Setelah memiliki rantai pasok di Indonesia bagian tengah dan barat, kini LincGroup membuka unit bisnis khusus untuk e-commerce enabler bernama 8Commerce.

Layanan ini mencakup pembuatan strategi pemasaran digital, operasional toko, manajemen kanal digital, pergudangan, dan pengiriman produk. 8Commerce beroperasi secara eksklusif di Indonesia.

SCI E-Commerce

SCI E-Commerce adalah e-commerce enabler asal Singapura yang menangani berbagai brand di Asia Tenggara dan Tiongkok. Tahun 2017, SCI E-Commerce mulai beroperasi di Indonesia dan bermitra dengan lapak marketplace seperti Tokopedia, Bukalapak, JD.id, dan Tmall Global.

Intrepid Group

Perusahaan yang didirikan di Vietnam pada tahun 2017 ini mulai menawarkan jasa profesionalnya di Indonesia pada bulan Januari 2019. Intrepid membantu para brand untuk menjangkau pasar konsumen yang lebih luas melalui kanal dan strategi e-commerce yang tepat.

Perusahaan yang juga sudah menjangkau Filipina dan Singapura ini menawarkan jasa pemasaran yang dapat memberikan masukan-masukan untuk pembuatan kebijakan bisnis strategis para pemilik bisnis.

Berdasarkan rilis yang diterima CNNIndonesia.com, menurut data yang terkumpul dalam laporan Sirclo, industri e-commerce Indonesia berkontribusi lebih dari setengah nilai ekonomi digital di tahun 2019 dan diprediksi akan mendominasi sektor digital hingga 60 persen di tahun 2025.

Nilai kapitalisasi pasar e-commerce pada tahun 2019 mencapai US$21 miliar (setara Rp 294 triliun), mengalahkan sektor ekonomi digital lain, seperti pariwisata online (US$10 miliar atau setara Rp 140 triliun) dan industri ride-hailing atau jasa transportasi online (US$6 miliar atau setara Rp 84 triliun).

Nilai ini pun diprediksi akan meningkat hingga US$82 miliar (sekitar Rp 1.148 triliun) pada tahun 2025. (dal)

Source : cnnindonesia.com


Photo credit: Mohamad Trilaksono

 

Aisha Agustina is a cook who runs an online catering business from home and handles dozens of orders every day. Agustina doesn’t want to use credit cards due to the risk of incurring debt and increased interest rates. However, the business sometimes requires unexpected expenses that make instant loans necessary. That’s how she came across the pay later service.

Given that her catering business relies on deliveries, Agustina said that the pay later feature on the Gojek and Grab platforms is very helpful. “I always avoid shopping with installments but sometimes there are unexpected needs and pay later comes in handy when I have to buy ingredients or fulfill catering orders via ride-hailing services,” said Agustina.

Sara Mandagie, a PR executive who often goes on business trips to various cities and countries, shares a similar view. She is an active user of the pay later feature in Gopay and Traveloka as they help her track monthly expenses. “Usually for Gojek transactions, I pay everything with PayLater so I can control my expenditure each month. As for Traveloka, this makes it easier when I have to go on sudden business trips so it does not interfere with my monthly cash flow, ” Mandagie told KrAsia.

Both Agustina and Mandagie are middle-class millennials based in Jakarta. Although they are not interested in taking quick loans from peer-to-peer lending platforms, they find the pay later feature imperative to support their daily needs.

As the name suggests, PayLater is a new payment feature that facilitates customers with credit within a certain limit, allowing them to shop or make transactions now and make repayments over time. According to Daily Social’s fintech report 2019, PayLater is the third most popular fintech product in Indonesia, with 56.7% of 787 respondents aware of the feature. The report was based on a nationwide survey encompassing responses from 1,500 people nationwide. This report was conducted by DSResearch and supported by BRI and BRI Ventures.

The pay later service is similar to a credit card but usually with a lower credit limit. Kredivo is a pioneer in this digital credit card segment. It was launched in 2016, and it arrived at the right time as limited access to credit is still a problem for many young people in the country.

Today, nearly all the big fintech and ecommerce providers have this feature on their platforms. According to the report, Ovo is the most used app for the pay later feature, followed by Gojek’s fintech arm Gopay, Shopee PayLater, and Traveloka PayLater. Ant Financial-backed e-wallet Dana also quietly introduced its PayLater feature recently in collaboration with multi-financial platform Akulaku, while state-owned platform LinkAja is also testing this feature in partnership with Kredivo.

Will mobile wallets replace credit cards in Indonesia?

With about 52% of the Indonesian population still unbanked, owning a credit card is a luxury in Indonesia. The credit card is a desirable product among the middle class and professionals due to its convenience, however it is not always easy to apply for one. You’ll need to fill up long forms and sometimes provide salary slips to prove your financial ability.

According to JP Morgan’s 2019 Global Payments Trends Report, credit card penetration is very low in Indonesia, at just 0.07 credit cards per capita. Moreover, the Indonesian Credit Card Association recorded that the number of credit cards in circulation as of September 2019 was 17.3 million, an increase of only 1.3% from the previous year’s 17.2 million.


(ADS) e2eCommerce Indonesia 2020 adalah pameran ekosistem eCommerce. Anda bisa membaca Post Show Report 2019 secara gratis klik di link ini dan jika tertarik menjadi eksibitor, tinggal klik link ini untuk informasi lebih lanjut bisa hubungi +62 21 2263 8635


Meanwhile, the number of transactions as of September 2019 was 250 million, down by 32% from 330 million in 2018. Compared to 2017, the volume of credit card transactions in 2018 only rose 3.4% from 319 million previously, while the number of credit cards remained stagnant at 17.2 million, which shows that the growth and frequency of credit card usage have begun to slow down in Indonesia.

On the contrary, e-wallet usage has grown rapidly in the past two years. According to data from Bank Indonesia, the transaction volume by the end of 2018 surged by 209.8% to 2.9 billion transactions compared to 2017, which amounted to 943.3 million transactions. Until July 2019, the transaction volume of e-wallets had reached 2.7 billion. These figures signify the high demand and interest of Indonesians in adopting digital payment platforms, thus tearing down financial inclusion barriers.

Although there is no publicly available data on pay later transactions, this feature seems set to become more and more popular this year, considering that fintech and ecommerce providers are competing to tap into this segment.

“The percentage of Indonesian banking consumers that are digitally active has grown 2.5 times since 2014, and they now comprise 32% of the banked population. Along with credit cards or bank loans, PayLater could further support the country’s lending system by providing more accessible and seamless digital loans to Indonesians,” Ovo’s managing director Harianto Gunawan told KrAsia.

“Thus, the presence of Ovo PayLater will support the acceleration and growth of the country’s financial inclusion, alongside the government’s financial institutions, as well as local banks. Whether they decide to lend via credit card or digital payment platforms depends on user needs,” he continued.

Ovo PayLater was launched in May 2019 and this feature is also on Grab’s regional roadmap, Grab’s head of financial services told KrAsia in a recent interview. Ovo has also claimed that it has more active users than credit card companies do in Indonesia today.

User like the pay later feature due to its flexibility, smaller installments, and affordable interest rates. To activate the pay later service in a mobile payment platform, you need to upgrade to the premium service, fill out some data requirements, and upload pictures with an ID card, but it only takes up to 24 hours. This is far more convenient than conventional credit cards, hence its rising popularity, especially among millennials.

Photo credit: prykhodov / 123RF

Indonesian travel unicorn Traveloka was the first non-fintech platform to introduce this service, and the number of its PayLater transactions has increased fivefold since it was first launched in June 2018.

“The feature is very beneficial, especially when it comes to travel planning. Not only can users purchase plane and train tickets, and accommodation, they can also order products for their lifestyle and entertainment needs at Traveloka Xperience and Traveloka Eats,” Alvin Kumarga, senior vice president of financial products at Traveloka, told KrAsia.

The growth of Traveloka PayLater’s users has increased more than 10 times since the service was first introduced, therefore the firm is being optimistic that this feature will continue to grow and can become one of the alternative payment solutions that makes transactions easy for users.

According to Joshua Agusta, director of Mandiri Capital Indonesia, the pay later service might even eventually overtake credit cards, in line with the strengthening consumption trends of Indonesia’s rising middle class.

“Indonesia’s economic growth is driven by consumption. Generally, fintech that focuses on consumptive services grows faster than its peers that play in the product segment. It is all about consumption and people’s purchasing power, and as PayLater facilitates these factors, I think it will grow even faster next year,” he said.

Conventional banks are not threatened…yet

With the fast growth of mobile payments among the large unbanked population, we will likely see digital and mobile-centric payment platforms leapfrog credit cards in Indonesia, like what happened in China. Credit card usage for online transactions in China is lower than e-wallets, especially because American companies such as Visa and Mastercard cannot enter the country. Chinese consumers then went directly from paying with cash to using mobile payments like WeChat Pay and Alipay, skipping widespread credit card adoption in the process.

Responding to this phenomenon, conventional banks are not too worried about competition with fintech players. In fact, the presence of fintech and its innovations has encouraged banks to improve their services.

For instance, local media has reported that Bank BNI is in discussions with the central bank (BI) on how to simplify credit card applications, as it recognizes that the impractical process is an obstacle to credit card growth. As a result, BI has approved the digital signature feature for credit card applications with BNI next year, meaning that customers can apply for their card online.

Collaborations with fintech players could be another way to help banks reach a wider user segment. Take BRI for instance: In September, BRI teamed up with Traveloka to launch a PayLater Card, which can be used in Indonesia and around the world for both online and offline transactions by leveraging the network of global payments company Visa.

Visa is also reportedly in discussions with Gojek for a PayLater service and new installment payment capabilities in the platform to reach more customers. Visa is one of Gojek’s investors.

Indonesian ecommerce Bukalapak also recently collaborated with fintech marketplace Cermati for an online credit card service. Powered by Cermati, Bukalapak users will be able to choose a credit card from various banks including BRI, Bank Mega, and Citi. The admission process takes up to three days, and users will be contacted via phone or email by the Bukalapak team to confirm their application.

The pay later feature is actually not a direct competitor to credit cards as it has different segments and ticket sizes. While it is very beneficial, especially for those without bank accounts, the banked population will likely keep their existing cards for the next few years. Using a credit card is still a good way to build a solid credit history and is important for making big purchases when money is tight. Moreover, it is essential for those who travel often as major hotels require a credit or debit card to book a room.

However, with the rapid development of fintech and its innovations, it wouldn’t be a surprise to see pay later service providers upgrading features and adding various limit options, similar to conventional credit cards. Therefore, banks still have the mammoth task of continuing to maintain and develop credit card services in order to compete with mobile wallets.

This report was first published on KrAsia.

Source : Techinasia.com


Perusahaan di bidang jasa pengiriman paket meraup untung di Harbolnas. Foto/Dok/SINDOnews


(ADS) e2eCommerce Indonesia 2020 adalah pameran ekosistem eCommerce. Anda bisa membaca Post Show Report 2019 secara gratis klik di link ini dan jika tertarik menjadi eksibitor, tinggal klik link ini untuk informasi lebih lanjut bisa hubungi +62 21 2263 8635


Harbolnas telah mengerek tinggi bisnis jasa pengiriman. Tak hanya pemain lama yang panen, perusahaan baru juga turut berpesta. Indonesia menjadi pasar terbesar di Asia Tenggara bagi para pemain dagang dalam jaringan atau e-commerce.

Penduduk negeri ini berjumlah 269 juta jiwa. Mereka yang memiliki smartphone tercatat 70 juta orang lebih. Alhasil bisnis e-commerce di tanah air mengalami perkembangan sangat pesat. Tumbuhnya dagang dalam jaringan atau daring membuat pola baru dalam berbelanja. Masyarakat lebih suka belanja secara online ketimbang offline. Hal ini membuat transaksi di bisnis online menjadi besar.

Menteri Perdagangan Agus Suparmanto menyebut telah terjadi revolusi industri di Indonesia. Gross Marchandise Value (GMV) atau nilai total transaksi e-commerce terus meningkat. Pada 2019, GMV e-commerce Indonesia mencapai US$21 miliar atau Rp294 triliun. “Diperkirakan tahun 2025 capai US$82 miliar atau Rp 1,1 kuadriliun,” tuturnya.

Pertumbuhan e-commerce tersebut memberikan efek domino terhadap bisnis lain seperti jasa pengiriman barang atau logistik. Hal ini membuat munculnya para pemain baru untuk berburu “potongan kue” dari membeludaknya orderan pengiriman barang.

Para pemain baru tersebut seperti J&T Express, Ninja Express, dan SiCepat Ekspres. Misalnya saja J&T Express. Perusahaan yang dimulai tepatnya pada tanggal 20 Agustus 2015 ini telah dikenal masyarakat luas dalam waktu singkat. Hebatnya lagi, perusahaan yang baru seumur jagung ini sudah bisa menjadi penantang serius dalam persaingan bisnis jasa pengiriman barang.

Pada saat festival belanja online 11.11 yang berlangsung pada November 2019, penerimaan paket J&T Express melonjak hingga 70% dibandingkan capaian tahun sebelumnya. Sebagai mitra logistik dalam platform e-commerce, ditambah tingginya permintaan masyarakat, pengiriman paket J&T Express diklaim mencapai enam juta paket pada periode tersebut.

Sementara untuk Harbolnas 2018 J&T mencatat rekor pengiriman baru dengan total 4,5 juta paket. Ninja Express juga begitu. Perusahaan yang umurnya baru empat tahun ini juga sukses bersaing di pasar bisnis logistik nasional. Pendatang asal Singapura ini sukses masuk menjadi top three perusahaan layanan pengiriman di tanah air sepanjang tahun ini.

Konsistensi mereka mendukung ekonomi digital melalui pelaku UKM telah mengantarkan pangsa pasar Ninja Xpress semakin meningkat. Saat ini Ninja Xpress telah memiliki ribuan kurir yang telah beroperasi menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Kemudian dari satu juta paket terkirim di tahun 2017, pada 2019 sudah meningkat drastis menjadi 50 juta paket.

Eric Saputra, Country Head Ninja Xpress mengatakan bahwa periode Harbolnas merupakan salah satu periode tersibuk setiap tahun. Rata-rata volume pengiriman bisa mencapai hingga tiga kali lipat dibanding hari biasa. “Kisaran peak (season) 3 kali lipat dari reguler atau normal volume. Kita prepare segitulah,” katanya kepada SINDO Weekly.

Sementara SiCepat Ekspres yang berdiri pada 2014 mencatatkan pertumbuhan sebesar 138%. Saat ini sudah lebih dari satu juta pelapak bergabung menjadikan SiCepat Ekspres sebagai partnernya. Perusahaan menargetkan mengirim satu juta paket per hari.

Pada saat harbolnas 12.12, Chief Executive Officer (CEO) SiCepat Ekspres The Kim Hai memperkirakan pengiriman paket akan menembus angka 1,5 juta pengiriman paket. Ini berarti mencapai 20% kenaikan dari Harbolnas 11.11 pada bulan November 2019. “Hal ini didukung oleh seluruh jajaran maupun sistem yang telah kami siapkan di awal semester kedua tahun 2019,” ujar Kim.

Pemain lama dalam jasa pengiriman barang, PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE), juga mencatatkan hasil positif. Berkaca pada harbolnas pada Oktober lalu, JNE memproleh kenaikan pengiriman hingga 15%.

Presiden Direktur PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) Mohammad Feriadi mengatakan setiap harinya JNE mengalami pertumbuhan dalam pengiriman barang. Saat ini perusahaannya telah melayani lebih dari satu juta paket per harinya. “Kami yakin tahun depan akan ada pertumbuhan lagi,” katanya kepada SINDO Weekly.

Tumbuh 30%

Industri pengiriman barang tumbuh positif tiap tahunnya seiring perkembangan e-commerce yang tercatat 500% dalam empat tahun terakhir. Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) memprediksi potensi pertumbuhan bisnis logistik di Tanah Air bisa mencapai lebih dari 30% pada 2020. Bila dihitung secara rinci, estimasi pertumbuhan sektor ini secara menyeluruh bisa mencapai Rp40 triliun atau lebih per tahun.

Sementara itu, data Indeks Kinerja Logistik Bank Dunia mencatat logistik Indonesia telah meningkat sangat pesat dalam tiga tahun terakhir. Saat ini, Indonesia berada di peringkat ke-46 secara global dibandingkan pada 2016 yang berada di peringkat ke-63.

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspress, Pos dan Logistik Indonesia (Asperindo) Mohamad Feriadi menilai potensi bisnis pengiriman jasa barang akan semakin meningkat dengan adanya penetrasi internet dan infrastruktur yang semakin luas karena dibangun oleh pemerintah.

Munculnya startup-startup logistik baru karena mereka melihat potensi yang besar di industri tersebut apalagi dengan adanya pesanan e-commerce yang terus meningkat.

CEO J&T Express Robin Lo juga senada. Ia bilang potensi bisnis logistic di Indonesia sangatlah besar seiring perkembangan bisnis e-commerce yang semakin pesat. “Investor jor-joran investasi di platform e-commerce di Indonesia. Kami dukung mereka berkembang lebih cepat,” ujar Robin

Kini beberapa startup logistik baru juga mulai bermunculan di Indonesia. Seperti Paxel, Iruna, Triplogic, Expedito, dan Kargo. Kelima startup itu menawarkan beragam solusi teknologinya kepada penggunanya. 

 

Source : Sindonews.com


Kehadiran layanan e-commerce yang sempat menjamur sepanjang dua tahun terakhir cukup mengguncang industri ritel (offline). Bisnis brick and mortar, istilah yang banyak digunakan untuk toko offline, dituntut mengubah model bisnis mereka dengan melakukan pendekatan secara online dan memanfaatkan media sosial untuk menjalin hubungan dengan pengunjung.

Besarnya pengeluaran yang harus disisihkan, menurut data Aprindo ritel besar memberikan kontribusi pajak yang signifikan, tidak dibarengi dengan pemasukan yang seimbang.

Laporan keuangan emiten yang dipublikasikan dan diolah Katadata menunjukkan 10 emiten sektor ritel pada 2017 perlambatan pertumbuhan pendapatan dibanding pada 2013. Total penjualan 10 emiten ritel (Matahari Putra Prima, Ramayana, Supra Boga, Midi Utama, Electronic City, Hero, Matahari Department Store, Sumber Alfaria Trijaya, Mitra Adiperkasa, dan Ace Hardware) pada 2017 hanya tumbuh 6,41% dari tahun sebelumnya, padahal pada 2013 mampu mencatat pertumbuhan lebih dari 21% dibanding tahun sebelumnya.

Gaya hidup dan kebiasaan konsumen sudah mengalami pergeseran, seiring dengan makin maraknya penjualan secara online yang sediakan platform e-commerce.

Mulai buka toko offline

Tidak dapat dipungkiri, untuk sejumlah variasi produk tertentu, seperti fesyen, gadget, dan grocery, masyarakat masih menyukai pengalaman berbelanja langsung di toko. Melihat kebutuhan tersebut, sejumlah layanan e-commerce kemudian menerapkan skema online-to-offline dengan mendirikan toko offline di kota-kota besar.

Menurut VP of Corporate Relations GK-Plug and Play Indonesia Mercy Setiawan, O2O akan menjadi suatu konsep yang mencolok karena teknologi merupakan hal yang tidak terelakkan dalam kehidupan sehari-hari. Tingginya kebutuhan untuk kenyamanan merupakan fenomena yang besar di masa mendatang.

“O2O e-commerce adalah bisnis strategi yang dirancang untuk membawa online customer ke lokasi offline store, serta menciptakan pengalaman digital yang seamless baik sebelum transaksi, pada masa pembelian, serta setelah transaksi berakhir.”

DailySocial mencatat setidaknya dua layanan fashion commerce yang cukup rutin mendirikan toko offline di kota-kota besar di Indonesia. Mereka adalah Berrybenka dan Hijup. Keduanya menyasar kalangan perempuan, termasuk busana muslim.

Berrybenka telah mendirikan 25 toko offline di berbagai kota-kota besar di Indonesia. Melalui Hijabenka, Berrybenka juga meresmikan toko offline pertamanya yang menyasar busana muslim di Mall Kota Kasablanka Jakarta.

“Kami mencatat perkembangan Hijabenka yang cukup signifikan, yakni hampir 150% dari tahun ke tahun. Hijabenka, yang sebelumnya mendompleng berjualan di dalam toko offline Berrybenka sejak awal tahun 2016, saat ini dirasa cukup mapan untuk dapat berdiri sendiri di pasar retail,” kata CEO Berrybenka Jason Lamuda.

Jason menambahkan, sejak kuartal keempat 2018, Hijabenka tak lagi menjual pakaian muslim yang berasal dari brand lain. Hijabenka fokus mengembangkan pakaian yang didesain desainer lokal dengan brand Hijabenka.

Melihat animo masyarakat terhadap strategi omni-channel yang telah dijalankan Berrybenka, Jason yakin strategi ini akan sukses diterapkan Hijabenka. Secara online, selain melalui platform-nya sendiri, Berrybenka dan Hijabenka juga sudah hadir di beberapa marketplace besar, seperti Zalora dan Shopee.

Serupa dengan Berrybenka, Hijup aktif menjangkau kota-kota besar di Indonesia dan telah memiliki 12 offline store di Indonesia dan 1 offline store di Malaysia. Menurut CEO Hijup Diajeng Lestari, hadirnya Hijup Store di berbagai kota besar di Indonesia mempengaruhi pertumbuhan bisnis Hijup secara keseluruhan hingga tiga kali lipat.

“Seiring dengan semangat Hijup untuk memberikan berbagai kemudahan bagi muslimah untuk menjadi versi terbaik dari dirinya, Hijup Store ini diharapkan dapat melengkapi hari seseorang sehingga bisa berpenampilan baik, merasa nyaman, dan berkegiatan produktif serta menyebarkan kebaikan.”

Layanan e-commerce lain yang juga mendirikan toko ritel offline adalah Muslimarket. Melalui brand Suqma yang diluncurkan pada tahun 2017 lalu, Suqma hadir sebagai modest fashion brand dengan menyediakan berbagai modest attire hasil karya desainer muslim Indonesia. Saat ini Suqma sudah membuka tiga gerainya di pusat perbelanjaan Indonesia, dua di Jakarta dan satu di Surabaya.

“Jadi offline tersebut masih merupakan satu distribusi channel yang harus kita miliki. Saya pribadi melihat offline masih menjadi kesempatan yang besar di Indonesia, dikarenakan kultur masyarakat yang masih sangat offline walaupun kehadiran online sudah sangat berkembang,” kata CEO Muslimarket Riel Tasmaya.

Antusiasme masyarakat yang tinggi terhadap kehadiran pop-up store dan bazaar menjadi pemicu tambahan dari para pemain online store untuk membuka sedikitnya satu offline flagship store agar para pembeli lebih dapat mengenal brand positioning dan kualitas produk mereka.

“Pada saat ini, seiring berjalannya waktu, perlahan-lahan pasar Indonesia mulai teredukasi. Merasa lebih nyaman serta percaya untuk langsung membeli langsung secara online karena adanya refund, tukar size, hingga COD,” kata Mercy.

Tren masa depan

Menurut Ketua Umum idEA Ignatius Untung, usaha pemain online yang membangun offline storebertujuan menjemput bola konsumen yang belum terjangkau media online. Kalkulasi bisnisnya tidak bisa disamakan dengan acquisition cost melalui channelonline.

“Semakin banyak player yang membangun offline channel akan makin memperkuat consumer based dan share of mind mereka di benak konsumen. Kami sebagai asosiasi (idEA) tidak ingin mencampuri terlalu jauh karena ini masuk ke ranah bisnis dan sepanjang tidak menyalahi aturan, sah-sah saja untuk dilakukan,” kata Untung.

Brand umumnya mengambil kesempatan untuk mengkombinasikan antara online dan offline ke dalam suatu pengalaman berbelanja yang seamless dan menyenangkan untuk para pembeli.

Untk mereka yang masih di tahap awal, level of engagement dengan para pembeli mereka lebih personal dan belum terlalu membutuhkan offline store.

“Hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana online brand dapat memastikan bahwa keberadaan offline mereka adalah finalisasi 100% dari pembelian. Offline store juga harus memperhatikan ketersediaan stock yang ada, jangan sampai produk ada di online tapi tidak tersedia di toko offline,” kata Mercy.

 


Peresmian situs e-commerce “wellness” Fits.id di Jakarta / Fits.id

e2eCommerce Indonesia adalah konferensi dan pameran yang dirancang untuk ekosistem ecommerce, dalam rangka percepatan ekonomi  digital Indonesia, menyatukan para pemain kunci dan mendorong diskusi  tentang masalah strategis dan operasional serta membantu melahirkan solusi sistem canggih untuk pemegang merek,  pengecer, pasar / operator eCommerce, operator parsel dan logistik untuk Indonesia.

Gaya hidup sehat kini mulai jadi pilihan sejumlah masyarakat di Indonesia. Hal ini bisa terlihat dari munculnya komunitas olahraga, timbulnya kesadaran untuk diet dan memilih makanan sehat demi menghindari penyakit. Potensi tersebut ingin diseriusi lebih dalam oleh e-commerce “wellness” Fits.id yang telah resmi sejak 11 Februari 2019.

Head of Marketing Strategic and Partnership Fits.id Pondra Nala Permana menjelaskan, Fits.id berangkat dari pemikiran holistik tentang arti kesehatan serta minimnya platform yang dapat dituju masyarakat untuk mencari produk dan jasa kesehatan. Selama ini keberadaan kategori produk sehat kurang beragam sehingga kurang bisa memenuhi kebutuhan kesehatan secara holistik.

“Fits.id hadir sebagai pionir di bidang wellness e-commerce untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi akan produk dan jasa kesehatan terpercaya,” terangnya dalam keterangan resmi.

Dikutip dari data Nielsen’s New Global Health and Ingredient-Sentiment Survey 2016, disebutkan 70% masyarakat modern Indonesia sudah menjalani diet tertentu untuk menghindari penyakit degeneratif. Sementara 68% lainnya memilih berinvestasi lebih pada makanan dengan kandungan yang sesuai dengan diet mereka.

Alhasil berbagai produk dan jasa kesehatan merupakan kata kunci yang kerap dicari para pembeli online. Mulai dari makanan sehat, alat olahraga, perawatan medis, bahkan asuransi kesehatan.

“Seluruh produk yang ada di Fits.id telah kami kurasi untuk dapat menunjang kebutuhan masyarakat akan kesehatan raga, pikiran, dan jiwa karena kami percaya konsep kesehatan itu tidak bisa berdiri sendiri,” tambah E-Commerce Manager Fits.id Sheila Rizkia.

Fits.id mengurasi merchant agar dapat menyediakan 12 pilihan produk dan jasa kesehatan yang secara holistik mencakup makanan sehat, produk olahraga, perawatan diri, medical check-up, paket wisata, hingga asuransi. Di samping itu, ada fitur potongan harga Hot Deals dan Wellness Calculator untuk memberikan rekomendasi produk asuransi dan wellness yang sesuai.

Tersedia pula fitur Insurance Comparison untuk memudahkan konsumen membandingkan produk asuransi sesuai gaya hidup masing-masing konsumen. Fits.id, sambung Sheila, didukung situs agregator produk asuransi Integra. Baik Integra maupun Fits.id adalah perusahaan afiliasi dengan nama badan hukum berbeda.

Rencana tahun ini

Secara terpisah kepada DailySocial, Sheila menambahkan sejauh ini layanan Fits.id baru bisa diakses via desktop dan akan terus disempurnakan agar konsumen nyaman berbelanja di situs. Fitur akan terus ditambah, begitu pula dengan kategori produk baru agar konsumen punya banyak pilihan.

Rencana peluncuran aplikasi masih dalam proses pematangan konsep dan user experience, agar ketika diluncurkan dapat diterima dengan baik oleh konsumen. “Untuk jangka panjangnya, tentunya kami ingin menjadi satu-satunya one stop wellness e-commerce yang dituju masyarakat Indonesia.”

Seiring dengan target tersebut, Sheila menyebut saat ini perusahaan belum berencana memonetisasi bisnisnya. Layaknya perusahaan e-commerce lain di awal pertumbuhan, perusahaan masih fokus memperbaiki konten, meningkatkan kualitas user experience, brand awareness, menumbuhkan kepercayaan, dan reputasi.

“Ketika fase tersebut sudah sempurna, kami yakin seluruh pihak di Fits.id akan tumbuh bersama dengan meningkatnya volume penjualan yang tinggi dan meningkatnya margin pendapatan. Secara operasional kami juga ada toko offline yang sudah memiliki basis konsumen yang cukup luas.”

Sheila menyebutkan pendanaan operasional masih berasal dari shareholder internal Fits.id dan belum berencana untuk penggalangan dana, meski tidak menutup opsi tersebut di masa depan.

Source : https://dailysocial.id/post/platform-e-commerce-wellness-fits-id

 

 


Indonesia’s logistics industry will enjoy double-digit growth this year, thanks to booming e-commerce and a string of new bonded logistics centres.
According to the Indonesian Logistics Association (ALI), the industry will grow 10-12% this year, while e-commerce will expand by up to 30%.
“E-commerce in Indonesia has driven express business growth exponentially for the last five years, with a lot of new express logistics companies launching,” said ALI chairman Zaldy Masita.
“The challenge is that there is little logistics standardisation in Indonesia, so it’s very difficult to implement automation systems that could increase productivity. Indonesia’s geography of 17,000 islands is a big challenge for newcomers from overseas.”
However, he added: “The e-commerce opportunity is still wide open, with the portion of e-commerce of total retail sales still below 5% – so there’s plenty of room for further growth,”
Mr Masita is also confident Indonesia’s new bonded logistics centres (PLBs) give the country a much-needed advantage over rivals Singapore and Malaysia, where logistics costs are roughly half.
The centres act as “mini free-trade zones”, deployed strategically throughout the country, helping reduce storage costs for importers and exporters. The first 11 opened in 2016, another 50 launched last year and a second generation is under development.
“PLBs will bring regional warehouses in ASEAN to be based in Indonesia,” claimed Mr Masita. “As the biggest economy in ASEAN, Indonesia consumes the majority of products, so it makes sense if more warehousing is here to save logistics costs.
“They provide the opportunity for cargo owners to postpone duties and taxes until the goods are sold to Indonesian consumers, and also allow for goods to be re-exported up to three years later without paying any tax.”
He said PLBs could be a threat to Singapore and Malaysia, which act as regional distribution centres via their free-trade zones, if Indonesia could gain more direct air and sea links with other ASEAN markets.
“One of the strengths of the PLBs is they are all over Indonesia, so there’s no need to attach the free-trade zone complex as in other countries,” he added.
Indonesia’s director general of customs and excise, Heru Pambudi, recently claimed importers could save US$500 per container by storing goods at the PLBs instead of in Singapore, and that the policy had already drawn $606m of inventory away from the city state.
According to Sutomo Asngadi, a local trade compliance consultant, this is possible because PLBs expedite customs checks and reduce container dwell times at Indonesian ports.
“Since there is no pre-clearance activity, the container can be removed from the port to a PLB in only one day. So the dwell time is shortened compared with general imports, which still take and average of 3.36 days,” he told The Loadstar.
He said commodities currently stored in PLBs included cargo for the textile, oil and gas, mining, chemicals and automotive industries, as well as raw materials for food and beverage products.
PLBs have online licensing and permit procedures, Mr Asngadi noted,
Source : https://theloadstar.co.uk/indonesian-logistics-benefits-booming-e-commerce-leads-cheaper-plbs/


Tersedia di Jakarta, Surabaya dan Denpasar, menargetkan hingga akhir tahun tersebar di 20 bandara

Acara peresmian kerja sama strategis TIPS, Citilink dan Angkasa Pura

Bertujuan memperlancar proses pengiriman dan menjaga keamanan, startup lokal yang diinisiasi sejak tahun 2016, TIPS (Titipin Penumpang Saja) meresmikan kerja sama strategisnya dengan Citilink Indonesia, Continue reading →


Estubizi, pemain coworking space lokal, mulai melirik potensi bisnis komunitas online lewat peluncuran platform Estubizi Network. Peluncuran platform tersebut ditujukan untuk membantu startup mengembangkan usahanya dengan konsep kolaborasi.

Kepada DailySocial, Chief Entrepreneur Officer Estubizi, Benyamin Ruslan Naba menuturkan, platform ini diluncurkan karena merujuk dari data yang dimiliki perusahaan yang menyatakan tingkat keberhasilan pebisnis pemula untuk bertahan dan berhasil ialah 50%. Continue reading →


by: Aditya Hadi Pratama

Inti berita

  • Pada 14 Agustus 2018, aplikasi olahraga asal Singapura Rovo menyatakan kepada Tech in Asia bahwa mereka telah mendapat pendanaan tahap awal (seed funding) sebesar US$473.000 (sekitar Rp6,9 miliar)
  • Investasi tersebut dipimpin oleh East Ventures, dan diikuti oleh Golden Gate Ventures.
  • Saat ini, Rovo telah beroperasi di beberapa negara Asia, seperti Indonesia, Singapura, Filipina, Malaysia, dan India.

Continue reading →