Pemerintah menargetkan aturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atau e-commerce terbit pada kuartal I 2020. Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan, aturan turunan tersebut akan berupa Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag).

“Segera. Kami akan menyelesaikan dalam waktu dekat. Kuartal ini,” kata Agus di Jakarta, Senin (28/1).

Ia optimistis, Permendag tersebut akan meningkatkan kegiatan e-commerce di Tanah Air tanpa mengurangi kewajiban pajaknya. Ketentuan pajak dalam Permendag tersebut juga bakal mengkuti omnibus law perpajakan.

Selain itu, aturan ini akan mengatur tentang izin usaha. Nantinya, pedagang e-commerce yang mengajukan izin usaha dapat memanfaatkan sistem Online Single Submission (OSS) di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Aturan tersebut disusun untuk mendapatkan data terkait para pelaku usaha yang berjualan di e-commerce. Hal ini bertujuan melindungi dan menertibkan pelaku usaha online di Indonesia. Dengan demikian, aktivitas melalui platform e-commerce dapat terdeteksi dan terkontrol.

Ia memastikan, aturan tersebut akan menyederhanakan peraturan yang menyulitkan dunia usaha. “Intinya peraturan ini dibuat untuk menyejukkan dunia usaha,” ujar dia.

Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menambahkan, aturan turunan tersebut akan memperkuat perlindungan kosumen. Selain itu, Permendag ini memuat kewajiban para startup e-commerce di Indonesia.

“Meski secara tradisional perizinan perusahaanya tetap, tapi tidak bisa kami monitor manakala kami tidak bekerja sama dengan startup tadi,” kata Oke.

Sebelumnya, Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) menilai pembahasan aturan teknis tersebut sangat kompleks. Karena itu, perlu koordinasi dengan berbagai kementerian.

Kemendag bersama idEA pun sudah membahas PP e-commerce sejak awal Desember lalu (8/12). “Kami memilih untuk tidak terburu-buru. Bukan mengulur waktu, tetapi dampaknya dan potensi (menimbulkan) konfliknya besar,” kata Ketua idEA Ignatius Untung pada akhir tahun lalu.

Selain Kemendag, pembahasan PP Nomor 80 Tahun 2019 tentang PMSE itu melibatkan banyak kementerian. Di antaranya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) terkait domain platform, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengenai pajak hingga Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Ignatius menyayangkan sikap pemerintah yang mengesahkan PP e-commerce tanpa diskusi terlebih dulu dengan idEA. Hal itu membuat interpretasi aturan tersebut menjadi ‘bola liar’ bagi para pelaku usaha.

Kondisi seperti itu justru membuat pedagang online khawatir. Bahkan, hal ini berpotensi membuat para investor berpikir ulang sebelum berinvestasi di marketplace Tanah Air.

“Kami berharap, aturan turunan (PP e-commerce) ini tidak mengulang kesalahan yang sama. Dipaksakan untuk disahkan, kejar target, yang penting keluar, namun malah menjadi ‘bola liar’,” ujar Ignatius.

 

Source : katadata.co.id

 


Jakarta, CNN Indonesia — Portal diskon online CupoNation Indonesia merilis studi tentang situs belanja online yang paling banyak dikunjungi oleh masyarakat Indonesia sepanjang tahun 2019. Studi dilakukan di tengah persaingan berbagai platform e-commerce di Indonesia melakukan berbagai cara agar menjadi pilihan utama pengguna.

Mengutip data CupoNation Indonesia, platform e-commerce dalam negeri masih menguasai jumlah pengunjung website di sepanjang tahun 2019 meski beberapa situs belanja online International turut masuk dalam jajaran pasar e-commerce di Indonesia.

Data menyebut Tokopedia merupakan toko online yang paling banyak dikunjungi oleh masyarakat Indonesia dengan total pengunjung mencapai 1,2 miliar, dengan rincian 863.1 juta pengunjung dari web mobile dan 329.8 juta pengunjung dari desktop.

Peringkat kedua dikuasai oleh situs belanja online Shopee dengan jumlah kunjungan mencapai 837.1 juta. Jumlah itu secara otomatis menggeser posisi Bukalapak yang pada tahun 2019 dikunjungi 823.5 juta pengunjung.

Di posisi keempat dan seterusnya ditempati oleh Lazada dengan 445,5 juta pengunjung; Blibli dengan 353,2 juta pengunjung; JD ID dengan 105,4 juta pengunjung; Orami dengan 89,8 juta pengunjung; Bhineka dengan 62,2 juta pengunjung; Sociolla dengan 51,1 juta pengunjung; dan Zalora dengan 44,5 juta pengunjung.

Lebih lanjut, CupoNation Indonesia menyampaikan masyarakat Indonesia lebih gemar berbelanja online melalui mobile daripada desktop. Hasil studi mengungkap bahwa 77.15 persen dari jumlah pengunjung di tahun 2019 datang dari versi web mobile. Hanya 22.85 persen datang dari desktop.

“Hal ini menunjukkan jika hampir seluruh online shopper di Indonesia lebih menyukai belanja online dengan menggunakan smartphone daripada desktop,” kutip keterangan tertulis CupoNation Indonesia, Jumat (25/1).

Di sisi lain , survei juga menyampaikan bahwa Orami menjadi situs belanja online yang menduduki peringkat pertama dengan jumlah trafik web mobile terbanyak. 97.55 persen dari total pengunjung Orami datang dari web mobile.

“Peringkat selanjutnya diduduki oleh Sophie Paris dengan trafik dari web mobile mencapai 97.43 persen dari total kunjungan,” kutip hasil survei.

Lebih dari itu, CupoNation menyampaikan daftar toko online yang masuk dalam studinya diambil dari Indonesian E-commerce Association (IdEA). Total 32 situs online dipilih berdasarkan situs online shop dengan yang memiliki trafik bulanan tidak kurang dari 150,000 pengunjung.


ADS) e2eCommerce Indonesia 2020 adalah pameran ekosistem eCommerce. Anda bisa membaca Post Show Report 2019 secara gratis klik di link ini dan jika tertarik menjadi eksibitor, tinggal klik link ini untuk informasi lebih lanjut bisa hubungi +62 21 2263 8635


Jumlah pengunjung yang datang melalui mobile dan desktop dikumpulkan dari SimilarWeb untuk periode Januari-Desember 2019.

“Jumlah pengunjung dalam studi ini tidak menunjukkan pengunjung unik, dimana jika salah satu pengunjung yang sama melakukan kunjungan selama 5 kali untuk periode yang dialamatkan. maka jumlah kunjungan yang terhitung adalah 5 kunjungan,” kutip hasil survei CupoNation.

Source : CNNIndonesia.com


Indonesia is planning to implement flat-rate fees for certain digital wallet transactions, Reuters reported on Monday (Dec. 30), citing five sources.

Fees are presently adjusted according to the type of vendor, with larger merchants paying more to offset costs for small shops. Bank Indonesia is proposing a possible 0.7 percent fee for some eWallet transactions, the sources said, which would end up costing smaller merchants more than they currently pay.

Transaction fees at larger merchants are still being discussed, but could also end up being a flat rate of 0.7 percent. Usually, larger merchants are charged fees ranging from 0.5 percent to 2 percent. By way of comparison, fees at Visa and Mastercard are roughly 2 percent to 3 percent, the article indicated.

In addition, the proposed changes would divide the transaction fees equally among the eWallet companies, middle-men payment processors and the Indonesian lender consortium (the National Electronic Transaction Settlement).

Currently, eWallet companies currently don’t have to share any portion of the transaction fees with lenders.

“This will hurt all of us,” an executive at an Indonesian eWallet firm told Reuters.

More than 50 percent of Indonesia’s population of nearly 270 million people don’t have bank accounts, which has created a multi-billion-dollar digital payments market.

The country’s $40 billion online economy is forecasted to grow three times as big by 2025, according to a report by Google, Temasek and Bain & Co.

In September, Indonesia-based Traveloka created the PayLater card with Bank BRI with the goal of bringing some of Indonesia’s underbanked online by offering exclusive deals across travel, lifestyle and insurance products.

Both online and offline transactions are supported under Visa’s global network, and may also be managed through Traveloka’s mobile app. There are plans to issue five million PayLater cards by 2025.

Featured PYMNTS Study:

With eyes on lowering costs to improving cash flow, 85 percent of U.S. firms plan to make real-time payments integral to their operations within three years. However, some firms still feel technical barriers stand in the way. In the January 2020 Making Real-Time Payments A Reality Study, PYMNTS surveyed more than 500 financial executives to examine what it will take to channel RTP interest into real-world adoption. Here’s what we learned.

Source : pymnts.com

 


Consumers are becoming more cognizant of their spending, even considering financing high-ticket purchases to avoid spending all their money in one transaction.

According to data from CivicScience, adoption of digital interest-free payment programs—like Affirm, Afterpay and Sezzle—has grown gradually in the past year, from 24% in Q1 2019 to 30% in Q3 2019 among US internet users.

Consumers may turn to these alternative credit solutions to purchase a luxury handbag or new sofa, but not everyone is using digital installment plans solely for big-ticket items.

“That’s a common misperception,” said Paul Paradis, co-founder and chief revenue officer of Sezzle, an ecommerce payment platform. “Our average order value is right around $80, which is a lot lower than most people think it is.”

“That points to this being an alternative to credit cards,” he said. “This is the everyday kind of purchase that many Americans make with a credit card, and this group just doesn’t have them or doesn’t want to use them.”


(ADS) e2eCommerce Indonesia 2020 adalah pameran ekosistem eCommerce. Anda bisa membaca Post Show Report 2019 secara gratis klik di link ini dan jika tertarik menjadi eksibitor, tinggal klik link ini untuk informasi lebih lanjut bisa hubungi +62 21 2263 8635


Younger consumers are more open to payment plans, according to separate data from the CivicScience. Roughly 28% of US internet users ages 18 to 24 expressed interest in using the service for low-priced items. Slightly more respondents ages 25 to 34 agreed.

Overall, the study found that interest in paying for low-priced items over time was low, but that will likely change within the next 12 to 18 months as more retailers offer the service on their sites.

“We’re now working with over 7,500 retailers, and we’re processing north of 15% share of checkout volume at those retailers,” Paradis said.

“That just sums up how much demand there is for this kind of a payment solution and how disruptive it [can] be in the US over the next two, three years,” he added.

Source : emarketer.com


Jakarta, CNN Indonesia — Menurut riset berjudul ‘Navigating Market Opportunities in Indonesia’s E-Commerce’ dari Sirclo, penjualan ritel e-commerce Indonesia diperkirakan mencapai US$15 miliar (setara Rp210 triliun) pada 2018 dan akan meningkat lebih dari empat kali lipat pada tahun 2022, menyentuh angka US$65 miliar (setara Rp910 triliun).

Founder dan Chief Executive Officer Sirclo, Brian Marshal mengatakan dari prediksi tersebut, ritel online yang tadinya hanya menyumbang 8 persen dari total penjualan pada tahun 2018, diprediksi akan menembus 24 persen di tahun 2022.

Kesuksesan platform e-commerce disebut tak bisa dilepas dari dukungan dan inovasi dari e-commerce enabler. E-commerce enabler adalah perusahaan yang menyediakan layanan strategi digital A-Z (end-to-end) ke unit bisnis lain yang ingin menjual produknya secara online.

Meskipun model bisnis ke bisnis atau B2B ini masih terhitung baru di industri dagang digital, layanan yang dihadirkan pun beragam. Beberapa di antaranya meliputi produksi konten, pembuatan halaman Official Store di marketplace, eksekusi pemasaran, integrasi kanal penjualan online, hingga pengiriman produk ke pelanggan.

Di Indonesia, berikut lima e-commerce enabler yang diklaim mampu merebut pasar digital di Indonesia dengan portofolio klien yang beragam:


(ADS) e2eCommerce Indonesia 2020 adalah pameran ekosistem eCommerce. Anda bisa membaca Post Show Report 2019 secara gratis klik di link ini dan jika tertarik menjadi eksibitor, tinggal klik link ini untuk informasi lebih lanjut bisa hubungi +62 21 2263 8635


Sirclo

Sebagai e-commerce enabler terdepan di Indonesia, SIRCLO melayani ratusan pemilik usaha untuk meningkatkan penjualan mereka di berbagai marketplace seperti Tokopedia, Shopee, Lazada, Bukalapak, dan Blibli.com.

Melalui SIRCLO Commerce, perusahaan ini menangani proses penjualan end-to-end di marketplace, mulai dari pengaturan stok hingga pemasaran produk. SIRCLO mengelola lebih dari 200 brand, dengan nama-nama klien global seperti Reckitt Benckiser, KAO, L’Oréal, Eiger, Levi’s, dan Unilever.

aCommerce

aCommerce merupakan e-commerce enabler yang berpusat di Bangkok, Thailand. Didirikan pada tahun 2013, kegiatan operasionalnya tersebar di beberapa negara Asia Tenggara, seperti Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina.

Sejumlah kliennya yang tercatat pernah dikelola diantaranya Adidas, Abbott, Samsung, dan Nescafe.

Jet Commerce

Jet Commerce pertama kali didirikan pada tahun 2017 sebagai mitra distribusi resmi Alibaba.com. Seiring berjalannya waktu, Jet Commerce kemudian merambah ke industri e-commerce dengan menyediakan layanan terpadu untuk brand yang ingin berjualan secara online.

Saat ini, Jet Commerce beroperasi di sejumlah negara yaitu Indonesia, Thailand, Vietnam, Filipina, dan Tiongkok. Dalam situs resminya, portofolio klien Jet Commerce meliputi Pedigree, Oppo, Sariayu, dan Shiseido.

LincGroup (8Commerce)

LincGroup memiliki spesialisasi di bidang manajemen rantai pasok. Setelah memiliki rantai pasok di Indonesia bagian tengah dan barat, kini LincGroup membuka unit bisnis khusus untuk e-commerce enabler bernama 8Commerce.

Layanan ini mencakup pembuatan strategi pemasaran digital, operasional toko, manajemen kanal digital, pergudangan, dan pengiriman produk. 8Commerce beroperasi secara eksklusif di Indonesia.

SCI E-Commerce

SCI E-Commerce adalah e-commerce enabler asal Singapura yang menangani berbagai brand di Asia Tenggara dan Tiongkok. Tahun 2017, SCI E-Commerce mulai beroperasi di Indonesia dan bermitra dengan lapak marketplace seperti Tokopedia, Bukalapak, JD.id, dan Tmall Global.

Intrepid Group

Perusahaan yang didirikan di Vietnam pada tahun 2017 ini mulai menawarkan jasa profesionalnya di Indonesia pada bulan Januari 2019. Intrepid membantu para brand untuk menjangkau pasar konsumen yang lebih luas melalui kanal dan strategi e-commerce yang tepat.

Perusahaan yang juga sudah menjangkau Filipina dan Singapura ini menawarkan jasa pemasaran yang dapat memberikan masukan-masukan untuk pembuatan kebijakan bisnis strategis para pemilik bisnis.

Berdasarkan rilis yang diterima CNNIndonesia.com, menurut data yang terkumpul dalam laporan Sirclo, industri e-commerce Indonesia berkontribusi lebih dari setengah nilai ekonomi digital di tahun 2019 dan diprediksi akan mendominasi sektor digital hingga 60 persen di tahun 2025.

Nilai kapitalisasi pasar e-commerce pada tahun 2019 mencapai US$21 miliar (setara Rp 294 triliun), mengalahkan sektor ekonomi digital lain, seperti pariwisata online (US$10 miliar atau setara Rp 140 triliun) dan industri ride-hailing atau jasa transportasi online (US$6 miliar atau setara Rp 84 triliun).

Nilai ini pun diprediksi akan meningkat hingga US$82 miliar (sekitar Rp 1.148 triliun) pada tahun 2025. (dal)

Source : cnnindonesia.com


Image credit: Shutterstock

 

Fast and frictionless payments will be possible with 5G

5G is poised to power the next generation of internet connectivity and eCommerce. Faster and more reliable than anything that’s come before, 5G networks will enable people to communicate, consume entertainment and shop at unprecedented speeds.

The UK is one of the world’s leaders in the race to deploy 5G. The technology was first rolled out in the region by EE in May 2019, and several other providers have followed suit throughout the year.

  • EU calls for speedy 5G rollout
  • China launches world’s biggest 5G network
  • Visa: how smart payments will drive our digital future

Businesses in the e-commerce space, and indeed any retailer today, should be paying close attention to the arrival of 5G. While it wasn’t so long ago that payment options involved swiping a card and signing a piece of paper, or – heaven forbid! – handing over cash, the possibilities for closing a purchase nowadays are endless, from social media payments and digital wallets, right through to biometrics and digital currencies. In fact, the rise of new payment technologies is such that 60 percent of respondents said they believed their phones would replace their bank cards in as little as 5 years, according to FIS’ UK Consumer Behaviour & Payments Report 2019, released this month.

Image credit: Shutterstock

 

5G and mobile commerce

Browsing and buying products online is quickly becoming the norm, especially for younger age groups. According to the FIS report, 36 percent of social media users had made at least one purchase through a social media platform, while nearly 50 percent of users in the Gen Z (18-21) age group had – astonishingly, 26 percent of this age group does so every day!

The high-speed connectivity of 5G will only accelerate this trend, signaling the arrival of the next big retail evolution and presenting new challenges and opportunities for brands. 5G is set to power significant growth in mobile commerce, with Vodafone estimating that it will boost London’s economy by £30 billion by 2030.

That predicted growth is in part due to simple economics of speed – faster, cheaper internet on your mobile phone means more opportunities to shop. This even applies to big-ticket items, like cars, where online purchase hasn’t been practical up until now. Complex elements like credit checks and finance options which have previously slowed the payment journey could be processed much faster using 5G.

 

Image credit: Pexels

 

A new shopping experience

5G also brings other areas of innovation that could unlock additional revenue for retailers. 5G networks will enable a new level of access and ubiquity for groundbreaking retail technologies that leverage alternative reality (AR), virtual reality (VR) and the Internet of Things (IoT). Imagine getting the best parts of the brick-and-mortar shopping experience without ever setting foot in a store. You’re not simply scrolling through a website: you’re actually looking at the shelves of a fashion retailer or supermarket via AR through your mobile phone, as well as exploring new offerings, hunting for discounts and deals, and even using a virtual fitting room to try on outfits; from the comfort of your couch.

This futuristic consumer experience could be closer than we think, thanks to 5G and its unprecedented capability to handle huge amounts of data at high speeds. 5G will unlock a new wave of consumer preferences – and if eCommerce businesses want to win in the UK’s fiercely competitive digital environment, they must harness the power of 5G. Then, they can truly transform the customer experience, through innovative technologies like AR and VR.

Of course, the possibilities of 5G are not limited to the digital retail space. 5G is also set to rapidly accelerate omnichannel commerce; bringing the digital and physical worlds together in a completely new way. Brick-and-mortar stores can connect to shoppers via their mobile devices – you might walk into a shop and receive a personalised SMS communication with a special deal just for you, based on your browsing history. Or, through facial recognition tools, retailers could soon be able to track the in-store products you spend the longest time looking at, then send you a digital offer to encourage online purchase after you leave the shop.

What’s more, 5G could help allay concerns about the security of mobile payments in the minds of those consumers who are yet to make the switch to mobile shopping. Based on data from the Worldpay from FIS payments platform, 43 percent of respondents who hesitate in adopting mobile wallets do so due to a lack of trust in the technology. However, 5G presents an opportunity for more accurate fraud prevention. Because the technology allows more data to travel throughout the network, multiple checks can be performed at once, against factors like geolocation, transaction amount, and merchant ID. 5G could also help to make mobile apps more secure, as providers will be able to address vulnerabilities through real-time updates.

 

Payments in the 5G era

As retailers consider how to innovate in the era of 5G, it will be paramount to provide the right payment experience; one that feels fast and frictionless, to match the overall 5G shopping journey. For online merchants, this means investigating the possibilities of innovative new payment systems – think facial recognition authentication, social payments and invisible payments. But it also means simply taking the first step to understanding consumers’ preferred payment methods in any given market and catering to these.

Retailers can prepare for the future today by doing a deep investigation into what opportunities 5G can unlock for their business – whether that’s new VR and AR shopping experiences, tailored omnichannel offerings, or enabling the quick and seamless payment choices which might make all the difference.

Pete Wickes, Senior Vice President, Corporate at Worldpay from FIS

 

(ADS) e2eCommerce Indonesia 2020 adalah pameran ekosistem eCommerce. Anda bisa membaca Post Show Report 2019 secara gratis klik di link ini dan jika tertarik menjadi eksibitor, tinggal klik link ini untuk informasi lebih lanjut bisa hubungi +62 21 2263 8635

 

Source : techradar.com

 

 


Photo credit: Mohamad Trilaksono

 

Aisha Agustina is a cook who runs an online catering business from home and handles dozens of orders every day. Agustina doesn’t want to use credit cards due to the risk of incurring debt and increased interest rates. However, the business sometimes requires unexpected expenses that make instant loans necessary. That’s how she came across the pay later service.

Given that her catering business relies on deliveries, Agustina said that the pay later feature on the Gojek and Grab platforms is very helpful. “I always avoid shopping with installments but sometimes there are unexpected needs and pay later comes in handy when I have to buy ingredients or fulfill catering orders via ride-hailing services,” said Agustina.

Sara Mandagie, a PR executive who often goes on business trips to various cities and countries, shares a similar view. She is an active user of the pay later feature in Gopay and Traveloka as they help her track monthly expenses. “Usually for Gojek transactions, I pay everything with PayLater so I can control my expenditure each month. As for Traveloka, this makes it easier when I have to go on sudden business trips so it does not interfere with my monthly cash flow, ” Mandagie told KrAsia.

Both Agustina and Mandagie are middle-class millennials based in Jakarta. Although they are not interested in taking quick loans from peer-to-peer lending platforms, they find the pay later feature imperative to support their daily needs.

As the name suggests, PayLater is a new payment feature that facilitates customers with credit within a certain limit, allowing them to shop or make transactions now and make repayments over time. According to Daily Social’s fintech report 2019, PayLater is the third most popular fintech product in Indonesia, with 56.7% of 787 respondents aware of the feature. The report was based on a nationwide survey encompassing responses from 1,500 people nationwide. This report was conducted by DSResearch and supported by BRI and BRI Ventures.

The pay later service is similar to a credit card but usually with a lower credit limit. Kredivo is a pioneer in this digital credit card segment. It was launched in 2016, and it arrived at the right time as limited access to credit is still a problem for many young people in the country.

Today, nearly all the big fintech and ecommerce providers have this feature on their platforms. According to the report, Ovo is the most used app for the pay later feature, followed by Gojek’s fintech arm Gopay, Shopee PayLater, and Traveloka PayLater. Ant Financial-backed e-wallet Dana also quietly introduced its PayLater feature recently in collaboration with multi-financial platform Akulaku, while state-owned platform LinkAja is also testing this feature in partnership with Kredivo.

Will mobile wallets replace credit cards in Indonesia?

With about 52% of the Indonesian population still unbanked, owning a credit card is a luxury in Indonesia. The credit card is a desirable product among the middle class and professionals due to its convenience, however it is not always easy to apply for one. You’ll need to fill up long forms and sometimes provide salary slips to prove your financial ability.

According to JP Morgan’s 2019 Global Payments Trends Report, credit card penetration is very low in Indonesia, at just 0.07 credit cards per capita. Moreover, the Indonesian Credit Card Association recorded that the number of credit cards in circulation as of September 2019 was 17.3 million, an increase of only 1.3% from the previous year’s 17.2 million.


(ADS) e2eCommerce Indonesia 2020 adalah pameran ekosistem eCommerce. Anda bisa membaca Post Show Report 2019 secara gratis klik di link ini dan jika tertarik menjadi eksibitor, tinggal klik link ini untuk informasi lebih lanjut bisa hubungi +62 21 2263 8635


Meanwhile, the number of transactions as of September 2019 was 250 million, down by 32% from 330 million in 2018. Compared to 2017, the volume of credit card transactions in 2018 only rose 3.4% from 319 million previously, while the number of credit cards remained stagnant at 17.2 million, which shows that the growth and frequency of credit card usage have begun to slow down in Indonesia.

On the contrary, e-wallet usage has grown rapidly in the past two years. According to data from Bank Indonesia, the transaction volume by the end of 2018 surged by 209.8% to 2.9 billion transactions compared to 2017, which amounted to 943.3 million transactions. Until July 2019, the transaction volume of e-wallets had reached 2.7 billion. These figures signify the high demand and interest of Indonesians in adopting digital payment platforms, thus tearing down financial inclusion barriers.

Although there is no publicly available data on pay later transactions, this feature seems set to become more and more popular this year, considering that fintech and ecommerce providers are competing to tap into this segment.

“The percentage of Indonesian banking consumers that are digitally active has grown 2.5 times since 2014, and they now comprise 32% of the banked population. Along with credit cards or bank loans, PayLater could further support the country’s lending system by providing more accessible and seamless digital loans to Indonesians,” Ovo’s managing director Harianto Gunawan told KrAsia.

“Thus, the presence of Ovo PayLater will support the acceleration and growth of the country’s financial inclusion, alongside the government’s financial institutions, as well as local banks. Whether they decide to lend via credit card or digital payment platforms depends on user needs,” he continued.

Ovo PayLater was launched in May 2019 and this feature is also on Grab’s regional roadmap, Grab’s head of financial services told KrAsia in a recent interview. Ovo has also claimed that it has more active users than credit card companies do in Indonesia today.

User like the pay later feature due to its flexibility, smaller installments, and affordable interest rates. To activate the pay later service in a mobile payment platform, you need to upgrade to the premium service, fill out some data requirements, and upload pictures with an ID card, but it only takes up to 24 hours. This is far more convenient than conventional credit cards, hence its rising popularity, especially among millennials.

Photo credit: prykhodov / 123RF

Indonesian travel unicorn Traveloka was the first non-fintech platform to introduce this service, and the number of its PayLater transactions has increased fivefold since it was first launched in June 2018.

“The feature is very beneficial, especially when it comes to travel planning. Not only can users purchase plane and train tickets, and accommodation, they can also order products for their lifestyle and entertainment needs at Traveloka Xperience and Traveloka Eats,” Alvin Kumarga, senior vice president of financial products at Traveloka, told KrAsia.

The growth of Traveloka PayLater’s users has increased more than 10 times since the service was first introduced, therefore the firm is being optimistic that this feature will continue to grow and can become one of the alternative payment solutions that makes transactions easy for users.

According to Joshua Agusta, director of Mandiri Capital Indonesia, the pay later service might even eventually overtake credit cards, in line with the strengthening consumption trends of Indonesia’s rising middle class.

“Indonesia’s economic growth is driven by consumption. Generally, fintech that focuses on consumptive services grows faster than its peers that play in the product segment. It is all about consumption and people’s purchasing power, and as PayLater facilitates these factors, I think it will grow even faster next year,” he said.

Conventional banks are not threatened…yet

With the fast growth of mobile payments among the large unbanked population, we will likely see digital and mobile-centric payment platforms leapfrog credit cards in Indonesia, like what happened in China. Credit card usage for online transactions in China is lower than e-wallets, especially because American companies such as Visa and Mastercard cannot enter the country. Chinese consumers then went directly from paying with cash to using mobile payments like WeChat Pay and Alipay, skipping widespread credit card adoption in the process.

Responding to this phenomenon, conventional banks are not too worried about competition with fintech players. In fact, the presence of fintech and its innovations has encouraged banks to improve their services.

For instance, local media has reported that Bank BNI is in discussions with the central bank (BI) on how to simplify credit card applications, as it recognizes that the impractical process is an obstacle to credit card growth. As a result, BI has approved the digital signature feature for credit card applications with BNI next year, meaning that customers can apply for their card online.

Collaborations with fintech players could be another way to help banks reach a wider user segment. Take BRI for instance: In September, BRI teamed up with Traveloka to launch a PayLater Card, which can be used in Indonesia and around the world for both online and offline transactions by leveraging the network of global payments company Visa.

Visa is also reportedly in discussions with Gojek for a PayLater service and new installment payment capabilities in the platform to reach more customers. Visa is one of Gojek’s investors.

Indonesian ecommerce Bukalapak also recently collaborated with fintech marketplace Cermati for an online credit card service. Powered by Cermati, Bukalapak users will be able to choose a credit card from various banks including BRI, Bank Mega, and Citi. The admission process takes up to three days, and users will be contacted via phone or email by the Bukalapak team to confirm their application.

The pay later feature is actually not a direct competitor to credit cards as it has different segments and ticket sizes. While it is very beneficial, especially for those without bank accounts, the banked population will likely keep their existing cards for the next few years. Using a credit card is still a good way to build a solid credit history and is important for making big purchases when money is tight. Moreover, it is essential for those who travel often as major hotels require a credit or debit card to book a room.

However, with the rapid development of fintech and its innovations, it wouldn’t be a surprise to see pay later service providers upgrading features and adding various limit options, similar to conventional credit cards. Therefore, banks still have the mammoth task of continuing to maintain and develop credit card services in order to compete with mobile wallets.

This report was first published on KrAsia.

Source : Techinasia.com


Perusahaan di bidang jasa pengiriman paket meraup untung di Harbolnas. Foto/Dok/SINDOnews


(ADS) e2eCommerce Indonesia 2020 adalah pameran ekosistem eCommerce. Anda bisa membaca Post Show Report 2019 secara gratis klik di link ini dan jika tertarik menjadi eksibitor, tinggal klik link ini untuk informasi lebih lanjut bisa hubungi +62 21 2263 8635


Harbolnas telah mengerek tinggi bisnis jasa pengiriman. Tak hanya pemain lama yang panen, perusahaan baru juga turut berpesta. Indonesia menjadi pasar terbesar di Asia Tenggara bagi para pemain dagang dalam jaringan atau e-commerce.

Penduduk negeri ini berjumlah 269 juta jiwa. Mereka yang memiliki smartphone tercatat 70 juta orang lebih. Alhasil bisnis e-commerce di tanah air mengalami perkembangan sangat pesat. Tumbuhnya dagang dalam jaringan atau daring membuat pola baru dalam berbelanja. Masyarakat lebih suka belanja secara online ketimbang offline. Hal ini membuat transaksi di bisnis online menjadi besar.

Menteri Perdagangan Agus Suparmanto menyebut telah terjadi revolusi industri di Indonesia. Gross Marchandise Value (GMV) atau nilai total transaksi e-commerce terus meningkat. Pada 2019, GMV e-commerce Indonesia mencapai US$21 miliar atau Rp294 triliun. “Diperkirakan tahun 2025 capai US$82 miliar atau Rp 1,1 kuadriliun,” tuturnya.

Pertumbuhan e-commerce tersebut memberikan efek domino terhadap bisnis lain seperti jasa pengiriman barang atau logistik. Hal ini membuat munculnya para pemain baru untuk berburu “potongan kue” dari membeludaknya orderan pengiriman barang.

Para pemain baru tersebut seperti J&T Express, Ninja Express, dan SiCepat Ekspres. Misalnya saja J&T Express. Perusahaan yang dimulai tepatnya pada tanggal 20 Agustus 2015 ini telah dikenal masyarakat luas dalam waktu singkat. Hebatnya lagi, perusahaan yang baru seumur jagung ini sudah bisa menjadi penantang serius dalam persaingan bisnis jasa pengiriman barang.

Pada saat festival belanja online 11.11 yang berlangsung pada November 2019, penerimaan paket J&T Express melonjak hingga 70% dibandingkan capaian tahun sebelumnya. Sebagai mitra logistik dalam platform e-commerce, ditambah tingginya permintaan masyarakat, pengiriman paket J&T Express diklaim mencapai enam juta paket pada periode tersebut.

Sementara untuk Harbolnas 2018 J&T mencatat rekor pengiriman baru dengan total 4,5 juta paket. Ninja Express juga begitu. Perusahaan yang umurnya baru empat tahun ini juga sukses bersaing di pasar bisnis logistik nasional. Pendatang asal Singapura ini sukses masuk menjadi top three perusahaan layanan pengiriman di tanah air sepanjang tahun ini.

Konsistensi mereka mendukung ekonomi digital melalui pelaku UKM telah mengantarkan pangsa pasar Ninja Xpress semakin meningkat. Saat ini Ninja Xpress telah memiliki ribuan kurir yang telah beroperasi menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Kemudian dari satu juta paket terkirim di tahun 2017, pada 2019 sudah meningkat drastis menjadi 50 juta paket.

Eric Saputra, Country Head Ninja Xpress mengatakan bahwa periode Harbolnas merupakan salah satu periode tersibuk setiap tahun. Rata-rata volume pengiriman bisa mencapai hingga tiga kali lipat dibanding hari biasa. “Kisaran peak (season) 3 kali lipat dari reguler atau normal volume. Kita prepare segitulah,” katanya kepada SINDO Weekly.

Sementara SiCepat Ekspres yang berdiri pada 2014 mencatatkan pertumbuhan sebesar 138%. Saat ini sudah lebih dari satu juta pelapak bergabung menjadikan SiCepat Ekspres sebagai partnernya. Perusahaan menargetkan mengirim satu juta paket per hari.

Pada saat harbolnas 12.12, Chief Executive Officer (CEO) SiCepat Ekspres The Kim Hai memperkirakan pengiriman paket akan menembus angka 1,5 juta pengiriman paket. Ini berarti mencapai 20% kenaikan dari Harbolnas 11.11 pada bulan November 2019. “Hal ini didukung oleh seluruh jajaran maupun sistem yang telah kami siapkan di awal semester kedua tahun 2019,” ujar Kim.

Pemain lama dalam jasa pengiriman barang, PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE), juga mencatatkan hasil positif. Berkaca pada harbolnas pada Oktober lalu, JNE memproleh kenaikan pengiriman hingga 15%.

Presiden Direktur PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) Mohammad Feriadi mengatakan setiap harinya JNE mengalami pertumbuhan dalam pengiriman barang. Saat ini perusahaannya telah melayani lebih dari satu juta paket per harinya. “Kami yakin tahun depan akan ada pertumbuhan lagi,” katanya kepada SINDO Weekly.

Tumbuh 30%

Industri pengiriman barang tumbuh positif tiap tahunnya seiring perkembangan e-commerce yang tercatat 500% dalam empat tahun terakhir. Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) memprediksi potensi pertumbuhan bisnis logistik di Tanah Air bisa mencapai lebih dari 30% pada 2020. Bila dihitung secara rinci, estimasi pertumbuhan sektor ini secara menyeluruh bisa mencapai Rp40 triliun atau lebih per tahun.

Sementara itu, data Indeks Kinerja Logistik Bank Dunia mencatat logistik Indonesia telah meningkat sangat pesat dalam tiga tahun terakhir. Saat ini, Indonesia berada di peringkat ke-46 secara global dibandingkan pada 2016 yang berada di peringkat ke-63.

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspress, Pos dan Logistik Indonesia (Asperindo) Mohamad Feriadi menilai potensi bisnis pengiriman jasa barang akan semakin meningkat dengan adanya penetrasi internet dan infrastruktur yang semakin luas karena dibangun oleh pemerintah.

Munculnya startup-startup logistik baru karena mereka melihat potensi yang besar di industri tersebut apalagi dengan adanya pesanan e-commerce yang terus meningkat.

CEO J&T Express Robin Lo juga senada. Ia bilang potensi bisnis logistic di Indonesia sangatlah besar seiring perkembangan bisnis e-commerce yang semakin pesat. “Investor jor-joran investasi di platform e-commerce di Indonesia. Kami dukung mereka berkembang lebih cepat,” ujar Robin

Kini beberapa startup logistik baru juga mulai bermunculan di Indonesia. Seperti Paxel, Iruna, Triplogic, Expedito, dan Kargo. Kelima startup itu menawarkan beragam solusi teknologinya kepada penggunanya. 

 

Source : Sindonews.com



(ADS) e2eCommerce Indonesia 2020 adalah pameran  ekosistem eCommerce. Anda bisa membaca Post Show Report 2019 secara gratis klik di link ini  dan jika tertarik menjadi eksibitor, tinggal klik link ini untuk informasi lebih lanjut bisa hubungi +62 21 2263 8635


Penerbitan Peraturan Pemerintah No 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik

Suara.com - Indonesia merupakan negara dengan transaksi perdagangan elektronik (e-commerce) terbesar di Asia Tenggara. Laporan e-Conomy SEA 2019 mengungkapkan rata-rata pertumbuhan ekonomi digital berada pada kisaran 20-30 persen sejak tahun 2015.

Negara-negara di Asia Tenggara mampu bertahan ditengah persaingan global dan Indonesia menjadi negara dengan nilai perekonomian digital terbesar. Dalam laporan ini, Indonesia diprediksi berada diperingkat teratas dalam beberapa tahun ke depan di sektor perdagangan elektronik (e-commerce). Nilainya diperkirakan mencapai US$ 21 Miliar pada tahun ini dan berkali lipat menjadi US$ 82 Miliar pada tahun 2025.

Dalam rangka mengatur dan menunjang adanya kepastian hukum dalam perdagangan elektronik, Presiden Joko Widodo telah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Peraturan ini perlu diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 66 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Terdapat beberapa poin penting yang diatur dalam peraturan pemerintah ini.

Pertama, PMSE dapat dilakukan oleh Pelaku Usaha, Konsumen, Pribadi, dan instansi penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang selanjutnya disebut para pihak. Para pihak tersebut harus memperhatikan prinsip iktikad baik, kehati-hatian, transparansi, keterpercayaan, akuntabilitas, keseimbangan, adil, dan sehat.

Kedua, Pelaku Usaha Luar Negeri yang secara aktif melakukan penawaran dan/atau melakukan PMSE kepada konsumen yang berkedudukan di wilayah hukum NKRI wajib menunjuk perwakilan di Indonesia yang dapat bertindak atas nama pelaku usaha tersebut. Selanjutnya pada pasal 8 dinyatakan bahwa terhadap kegiatan usaha PMSE, berlaku ketentuan dan mekanisme perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Konsep ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) yang mengatur mengenai Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebagai bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi maupun badan asing yang tidak didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatannya di Indonesia. Perpajakan atas BUT dipersamakan dengan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri lainnya. Hal ini merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan membayar pajak dari para pelaku usaha PMSE.

Ketiga, peraturan ini mengharuskan para pihak dalam PMSE memiliki, mencantumkan, atau menyampaikan identitas subyek hukum yang jelas, memperoleh izin usaha dalam melakukan perdagangan elektronik serta memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur ekspor atau impor dan peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik bagi PMSE yang bersifat lintas negara. Pembuatan izin bisa diakses melalui sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau online single submission (OSS).

Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengungkapkan banyak kepentingan pemerintah dalam aturan yang mewajibkan pelaku usaha PMSE memiliki izin. Salah satunya adalah agar pemerintah memastikan produk yang dijual berkualitas tinggi dan memenuhi standar yang ditentukan. Peraturan ini juga menyebutkan, pihak yang melakukan PMSE (e-commerce) atas barang dan/atau Jasa yang berdampak terhadap kerentanan keamanan nasional harus mendapatkan security clearance dari instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelaku usaha juga diharapkan dapat membantu program pemerintah antara lain mengutamakan perdagangan barang dan/atau jasa hasil produksi dalam negeri, meningkatkan daya saing produk dalam negeri, dan memberikan fasilitas ruang promosi untuk barang / jasa hasil produksi dalam negeri.

Keempat, pelaku usaha dalam atau luar negeri wajib menggunakan nama domain tingkat tinggi Indonesia (dot id) dan alamat Protokol Internet (IP Address) serta perangkat server yang ditempatkan di pusat data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kelima, peraturan ini menjelaskan bahwa data dan informasi yang dimiliki oleh pelaku usaha dapat diketahui dan didistribusikan secara berkala kepada lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan di bidang statistik. Menurut pasal 25 dalam peraturan ini, data / informasi terkait transaksi keuangan wajib disimpan paling singkat 10 tahun dan data / informasi yang tidak terkait transaksi keuangan wajib disimpan paling lambat 5 tahun sejak diperolehnya data.

Keenam, apabila ditemukan konten informasi elektronik ilegal maka pelaku usaha PMSE harus bertanggung jawab atas dampak atau konsekuensi hukum akibat keberadaan konten tersebut. Peraturan ini juga mengatur ketentuan untuk menghindari atau merespon adanya konten informasi elektronik ilegal. Hal tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain menyajikan syarat penggunaan atau perjanjian lisensi kepada penggunanya untuk melakukan pemanfaatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menyediakan sarana kontrol teknologi dan/atau sarana penerimaan laporan atau aduan masyarakat terhadap keberadaan konten informasi elektronik ilegal ataupun penyalahgunaan ruang pada Sistem Elektronik yang dikelolanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Ketujuh, demi menjamin perlindungan konsumen secara patut para pelaku usaha wajib menyediakan layanan pengaduan. Layanan ini setidaknya mencakup alamat dan nomor kontak pengaduan, prosedur pengaduan konsumen dan mekanisme tindak lanjut pengaduan. Apabila konsumen merasa dirugikan, dapat melaporkan hal tersebut kepada Menteri dan akan diambil langkah tegas untuk menyikapinya.

Peraturan pemerintah ini merupakan jawaban kebutuhan Indonesia terhadap peraturan yang mengatur ekosistem perdagangan melalui sistem elektronik. Dengan kata lain, peraturan ini merupakan langkah awal pemerintah untuk mengatur secara lebih ketat bisnis PMSE. Selain peraturan yang sudah terbit ini, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan juga akan menerbitkan aturan turunan yaitu Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag). Dua regulasi ini diharapkan dapat memberikan kewajiban dan hak yang sama bagi pelaku usaha PMSE maupun pelaku usaha konvensional di Indonesia.

Source : suara.com


Kehadiran layanan e-commerce yang sempat menjamur sepanjang dua tahun terakhir cukup mengguncang industri ritel (offline). Bisnis brick and mortar, istilah yang banyak digunakan untuk toko offline, dituntut mengubah model bisnis mereka dengan melakukan pendekatan secara online dan memanfaatkan media sosial untuk menjalin hubungan dengan pengunjung.

Besarnya pengeluaran yang harus disisihkan, menurut data Aprindo ritel besar memberikan kontribusi pajak yang signifikan, tidak dibarengi dengan pemasukan yang seimbang.

Laporan keuangan emiten yang dipublikasikan dan diolah Katadata menunjukkan 10 emiten sektor ritel pada 2017 perlambatan pertumbuhan pendapatan dibanding pada 2013. Total penjualan 10 emiten ritel (Matahari Putra Prima, Ramayana, Supra Boga, Midi Utama, Electronic City, Hero, Matahari Department Store, Sumber Alfaria Trijaya, Mitra Adiperkasa, dan Ace Hardware) pada 2017 hanya tumbuh 6,41% dari tahun sebelumnya, padahal pada 2013 mampu mencatat pertumbuhan lebih dari 21% dibanding tahun sebelumnya.

Gaya hidup dan kebiasaan konsumen sudah mengalami pergeseran, seiring dengan makin maraknya penjualan secara online yang sediakan platform e-commerce.

Mulai buka toko offline

Tidak dapat dipungkiri, untuk sejumlah variasi produk tertentu, seperti fesyen, gadget, dan grocery, masyarakat masih menyukai pengalaman berbelanja langsung di toko. Melihat kebutuhan tersebut, sejumlah layanan e-commerce kemudian menerapkan skema online-to-offline dengan mendirikan toko offline di kota-kota besar.

Menurut VP of Corporate Relations GK-Plug and Play Indonesia Mercy Setiawan, O2O akan menjadi suatu konsep yang mencolok karena teknologi merupakan hal yang tidak terelakkan dalam kehidupan sehari-hari. Tingginya kebutuhan untuk kenyamanan merupakan fenomena yang besar di masa mendatang.

“O2O e-commerce adalah bisnis strategi yang dirancang untuk membawa online customer ke lokasi offline store, serta menciptakan pengalaman digital yang seamless baik sebelum transaksi, pada masa pembelian, serta setelah transaksi berakhir.”

DailySocial mencatat setidaknya dua layanan fashion commerce yang cukup rutin mendirikan toko offline di kota-kota besar di Indonesia. Mereka adalah Berrybenka dan Hijup. Keduanya menyasar kalangan perempuan, termasuk busana muslim.

Berrybenka telah mendirikan 25 toko offline di berbagai kota-kota besar di Indonesia. Melalui Hijabenka, Berrybenka juga meresmikan toko offline pertamanya yang menyasar busana muslim di Mall Kota Kasablanka Jakarta.

“Kami mencatat perkembangan Hijabenka yang cukup signifikan, yakni hampir 150% dari tahun ke tahun. Hijabenka, yang sebelumnya mendompleng berjualan di dalam toko offline Berrybenka sejak awal tahun 2016, saat ini dirasa cukup mapan untuk dapat berdiri sendiri di pasar retail,” kata CEO Berrybenka Jason Lamuda.

Jason menambahkan, sejak kuartal keempat 2018, Hijabenka tak lagi menjual pakaian muslim yang berasal dari brand lain. Hijabenka fokus mengembangkan pakaian yang didesain desainer lokal dengan brand Hijabenka.

Melihat animo masyarakat terhadap strategi omni-channel yang telah dijalankan Berrybenka, Jason yakin strategi ini akan sukses diterapkan Hijabenka. Secara online, selain melalui platform-nya sendiri, Berrybenka dan Hijabenka juga sudah hadir di beberapa marketplace besar, seperti Zalora dan Shopee.

Serupa dengan Berrybenka, Hijup aktif menjangkau kota-kota besar di Indonesia dan telah memiliki 12 offline store di Indonesia dan 1 offline store di Malaysia. Menurut CEO Hijup Diajeng Lestari, hadirnya Hijup Store di berbagai kota besar di Indonesia mempengaruhi pertumbuhan bisnis Hijup secara keseluruhan hingga tiga kali lipat.

“Seiring dengan semangat Hijup untuk memberikan berbagai kemudahan bagi muslimah untuk menjadi versi terbaik dari dirinya, Hijup Store ini diharapkan dapat melengkapi hari seseorang sehingga bisa berpenampilan baik, merasa nyaman, dan berkegiatan produktif serta menyebarkan kebaikan.”

Layanan e-commerce lain yang juga mendirikan toko ritel offline adalah Muslimarket. Melalui brand Suqma yang diluncurkan pada tahun 2017 lalu, Suqma hadir sebagai modest fashion brand dengan menyediakan berbagai modest attire hasil karya desainer muslim Indonesia. Saat ini Suqma sudah membuka tiga gerainya di pusat perbelanjaan Indonesia, dua di Jakarta dan satu di Surabaya.

“Jadi offline tersebut masih merupakan satu distribusi channel yang harus kita miliki. Saya pribadi melihat offline masih menjadi kesempatan yang besar di Indonesia, dikarenakan kultur masyarakat yang masih sangat offline walaupun kehadiran online sudah sangat berkembang,” kata CEO Muslimarket Riel Tasmaya.

Antusiasme masyarakat yang tinggi terhadap kehadiran pop-up store dan bazaar menjadi pemicu tambahan dari para pemain online store untuk membuka sedikitnya satu offline flagship store agar para pembeli lebih dapat mengenal brand positioning dan kualitas produk mereka.

“Pada saat ini, seiring berjalannya waktu, perlahan-lahan pasar Indonesia mulai teredukasi. Merasa lebih nyaman serta percaya untuk langsung membeli langsung secara online karena adanya refund, tukar size, hingga COD,” kata Mercy.

Tren masa depan

Menurut Ketua Umum idEA Ignatius Untung, usaha pemain online yang membangun offline storebertujuan menjemput bola konsumen yang belum terjangkau media online. Kalkulasi bisnisnya tidak bisa disamakan dengan acquisition cost melalui channelonline.

“Semakin banyak player yang membangun offline channel akan makin memperkuat consumer based dan share of mind mereka di benak konsumen. Kami sebagai asosiasi (idEA) tidak ingin mencampuri terlalu jauh karena ini masuk ke ranah bisnis dan sepanjang tidak menyalahi aturan, sah-sah saja untuk dilakukan,” kata Untung.

Brand umumnya mengambil kesempatan untuk mengkombinasikan antara online dan offline ke dalam suatu pengalaman berbelanja yang seamless dan menyenangkan untuk para pembeli.

Untk mereka yang masih di tahap awal, level of engagement dengan para pembeli mereka lebih personal dan belum terlalu membutuhkan offline store.

“Hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana online brand dapat memastikan bahwa keberadaan offline mereka adalah finalisasi 100% dari pembelian. Offline store juga harus memperhatikan ketersediaan stock yang ada, jangan sampai produk ada di online tapi tidak tersedia di toko offline,” kata Mercy.

 


Co-Founder dan President Bukalapak Fajrin Rasyid dan Co-Founder Paxel Zaldy Ilham Masita / DailySocial

(ADS) e2eCommerce Indonesia  adalah pameran  ekosistem eCommerce. Kamu bisa menjadi member dan mendaftar sebagai pengunjung klik di link ini. mengunduh laporan  dan statistic event secara cuma-cuma, dan mengikuti berita terbaru.

Bukalapak mengumumkan kerja sama dengan startup logistik “last mile” Paxel untuk melayani pengiriman same day delivery antar kota antar provinsi. Kerja sama ini masih bersifat eksklusif tersedia di Bukalapak.

Co-Founder dan President Bukalapak Fajrin Rasyid menjelaskan, selama ini pengiriman same dayterbatas untuk dalam kota dan baru dilayani pemain on demand, seperti Go-Send dan GrabExpress.

Menurut Bukalapak, ada sejumlah tantangan di bidang logistik yang masih mereka hadapi, seperti pengiriman belum diterima, status paket yang dikembalikan, alamat tidak lengkap, barang hilang atau rusak, dan bermasalah dengan resi.

“Para pelanggan Bukalapak membutuhkan jasa logistik yang dapat diandalkan sebagai solusi terhadap tantangan pengiriman barang yang mereka hadapi selama ini. Kami selalu mencari solusi inovatif untuk memperbaiki ekosistem pengiriman barang,” terangnya, Jumat (3/5).

Menurut laporan McKinsey, pada tahun 2022, Indonesia akan mengirimkan 1,6 miliar paket per tahun. Angka ini lebih banyak dari total pengiriman paket dalam sejarah. Selain itu, mengutip dari laporan PwC pada Global Consumer Insight Survey 2018, sebanyak 41% responden rela membayar lebih untuk mendapatkan layanan same day delivery. Melihat kebutuhan tersebut, Bukalapak berkomitmen menghadirkan solusi pengiriman yang mengutamakan kualitas dan kecepatan.

Co-Founder Paxel Zaldy Ilham Masita menambahkan, selama lima tahun terakhir perkembangan e-commerce tumbuh dengan pesat namun belum diimbangi oleh industri logistik. Kemudian, pada dua tahun terakhir muncul kebutuhan dari konsumen yang menginginkan pengiriman same day. Hal ini menjadi suatu tren baru dan menginspirasi untuk berdirinya Paxel.

“Paxel menggabungkan algoritma dan teknologi, people dan process sehingga barang bisa tiba di hari yang sama dengan harga flat. Alhasil kami memberikan metode pengiriman paling efisien dan produktif yang sama sekali berbeda dengan yang dilakukan perusahaan logistik selama ini,” kata Zaldy.

Dia melanjutkan, pengiriman same day ini bisa menjadi peluang untuk para merchant dalam mengembangkan pasarnya bisa dijangkau lebih banyak konsumen. Dari hasil survei internal yang dilakukan perusahaan, diungkapkan bahwa same day delivery bisa memberikan ROI (return of investment) hingga 4 kali lipat.

Pasalnya, mereka bisa menerima pencairan uang yang lebih cepat dari sebelumnya harus menunggu 3-4 hari sampai barang diterima konsumen. Dana tersebut dapat mereka putar untuk pengembangan usahanya lagi.

“Bakal ada kecenderungan konsumen akan jadi repeat consumer karena puas ketika barang lebih cepat sampai dari yang mereka prediksi,” tambah Fajrin.

Para pelanggan Bukalapak dapat menikmati layanan pengiriman oleh Paxel di hari yang sama dalam rentang waktu 8 jam untuk dalam kota dan 10-15 jam untuk antar kota. Layanan ini tersedia untuk wilayah Jabodetabek, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Solo, Malang, Surabaya, dan Denpasar.

Paxel memanfaatkan moda transportasi pesawat atau kereta api untuk melayani pengiriman same day antar provinsi yang dikombinasikan dengan model bisnis Paxel yakni estafet, memanfaatkan smart locker untuk saling terhubung dengan antar kurir.

Saat ini Paxel memiliki 1.400 armada kurir yang tersebar di Jawa dan Bali, dengan 100 smart locker yang baru tersedia di Jakarta. Bukalapak menjadi mitra e-commerce pertama Paxel. Selama ini perusahaan kebanyakan bekerja sama dengan merchant social commerce yang berjualan di akun Instagram atau media sosial lainnya.

Basis pengguna Paxel diklaim mencapai sebanyak 200 ribu merchant. Volume pengiriman Paxel tumbuh 30% per bulannya sejak pertama kali rilis di awal 2018. Pengiriman barang baru tersedia untuk volume paket kecil dan sedang dengan maksimal berat 5 kg.

Zaldy menyebut perusahaan akan berekspansi layanan ke Medan dan Makassar pada tahun ini. Kemitraan dengan Bukalapak akan dibawa ke tahap lanjut, memanfaatkan warung mitra Bukalapak sebagai titik drop atau locker.

“Apabila nanti bisa memanfaatkan warung mitra Bukalapak tentunya harga pengiriman bisa ditekan, sehingga pengiriman same day bisa dinikmati semua orang,” pungkas Zaldy.

Source : dailysocial.id


Jakarta. E-commerce accounted for 8 percent of total retail sales in Indonesia last year, on course to reach 18 percent by 2023, fueled by changing behavior among tech-savvy customers who are willing to spend more for convenience, according to a recent study by American multinational investment bank Morgan Stanley.

The study estimates the size of Indonesia’s e-commerce market at $13 billion in 2018, having grown by 50 percent annually over the past two years. It suggests that the e-commerce market in Southeast Asia’s biggest economy may follow a similar growth trajectory to that of China and expand by at least 32 percent annually over the next five years to $52 billion in 2023.

“This is notably above our previous estimate of $7.3 billion, or 4.4 percent of sales, partially due to better data availability but also due to the rapid growth in the user base… Indonesia is now only five years behind China in terms of penetration,” Morgan Stanley wrote.

A separate study by global tech giant Google and Singapore’s Temasek, published last December, put the size of Indonesia’s e-commerce market at $12.2 billion in 2018 and $53 billion in 2025.

The Morgan Stanley study, based on interviews with 1,582 respondents in eight Indonesian cities, suggests that the growth trend is still in an early stage, with many indicating that they only started shopping online in the past year.

“Interestingly, 65 percent of the respondents in our survey had only started shopping online within the past year, and the majority believed e-commerce would become their main method of shopping over time,” the investment bank wrote in the report published on Tuesday.

“There are 195 million smartphone users in Indonesia and only about 30 million online shoppers. The growth potential of the user base is still clearly huge,” it wrote.

Apart from smartphone penetration, low data costs and the growing number of people with bank accounts serve as crucial enablers for continuing e-commerce growth, Morgan Stanley said. Data costs about 50 US cents per gigabyte in Indonesia, compared with $2.1 per gigabyte in China. About 49 percent of the adult population in Indonesia now has a bank account, compared with 20 percent in 2011.

Apparel 

Clothing and footwear fuel the sales growth, with 93 percent of respondents indicating that they bought items in this category online in the past 12 months. Half of them buy apparel at least once a month, Morgan Stanley said. In comparison, only 16 percent and 25 percent, reported that they purchased consumer electronics and mobile devices, respectively, which is the most common category in early state e-commerce.

The study also noted changing customer behavior, which would likely affect their interaction with traditional brick-and-mortar stores. Three in every four customers said they would check for promotions or prices online before buying anything offline, Morgan Stanley reported.

Seven in every 10 said they would continue shopping online, even if it meant they would have to pay for delivery. Morgan Stanley said this reflects consumers’ “willingness to pay for convenience.”

“Fast shipping was the primary reason for preferring one website over another,” the bank said.

Retailers 

The trend presents challenges to traditional retailers to remain profitable and provides a powerful platform for small brands to challenge established manufacturers.

“Our analysis reaffirms our medium-term concern for apparel-focused retailers like [Matahari Department Store]. The average transaction size for apparel online, per our survey, is similar to Matahari’s basket size,” Morgan Stanley said.

“For beauty and personal care companies like Unilever, the combination of e-commerce and digital media is making it easier or cheaper for smaller companies to build brands and offer nationwide distribution,” it wrote.

Everybody’s Game

Investment in Indonesian internet companies has steadily risen over the past two years, which saw them attract at least $7.4 billion in the capital in 730 deals.

With all this potential growth, Morgan Stanley has yet to see clear winners in the country’s e-commerce market.

Four players control most of the formal e-commerce sales: Lazada, Shopee, Tokopedia and Bukalapak, with the top three each controlling between 20 percent and 30 percent of the market. Bukalapak was in the low teens, according to Morgan Stanley’s estimation.

Lazada, a pioneer of e-commerce in Southeast Asia, is still the most preferred platform, according to the bank’s survey

“Lazada had high usage rates across categories and genders. The cash-on-delivery option was one of the key drivers of the preference,” it said.

Shopee was second overall in terms of usage and preference, being more popular in smaller cities and among people buying baby products, toys, and beauty and personal care products.

“Tokopedia’s preference and usage were lower beyond Jakarta in our survey. Its usage rate was only 38 percent in second-tier cities like Surabaya, Medan, and Bandung, compared to 62 percent in Jakarta,” Morgan Stanley said.

A surprising find in the survey is that Tokopedia and Bukalapak both enjoy more than 80 percent customer recognition, but less than 50 percent had made purchases on their platforms within the past 12 months.

“For Southeast Asia, we remain convinced that its e-commerce platform is being undervalued. Our survey not only confirms the popularity of Shopee but also that its users are willing to pay for delivery, which solidifies its path to profitability,” Morgan Stanley said.

 

source: jakartaglobe.id


Peresmian situs e-commerce “wellness” Fits.id di Jakarta / Fits.id

e2eCommerce Indonesia adalah konferensi dan pameran yang dirancang untuk ekosistem ecommerce, dalam rangka percepatan ekonomi  digital Indonesia, menyatukan para pemain kunci dan mendorong diskusi  tentang masalah strategis dan operasional serta membantu melahirkan solusi sistem canggih untuk pemegang merek,  pengecer, pasar / operator eCommerce, operator parsel dan logistik untuk Indonesia.

Gaya hidup sehat kini mulai jadi pilihan sejumlah masyarakat di Indonesia. Hal ini bisa terlihat dari munculnya komunitas olahraga, timbulnya kesadaran untuk diet dan memilih makanan sehat demi menghindari penyakit. Potensi tersebut ingin diseriusi lebih dalam oleh e-commerce “wellness” Fits.id yang telah resmi sejak 11 Februari 2019.

Head of Marketing Strategic and Partnership Fits.id Pondra Nala Permana menjelaskan, Fits.id berangkat dari pemikiran holistik tentang arti kesehatan serta minimnya platform yang dapat dituju masyarakat untuk mencari produk dan jasa kesehatan. Selama ini keberadaan kategori produk sehat kurang beragam sehingga kurang bisa memenuhi kebutuhan kesehatan secara holistik.

“Fits.id hadir sebagai pionir di bidang wellness e-commerce untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi akan produk dan jasa kesehatan terpercaya,” terangnya dalam keterangan resmi.

Dikutip dari data Nielsen’s New Global Health and Ingredient-Sentiment Survey 2016, disebutkan 70% masyarakat modern Indonesia sudah menjalani diet tertentu untuk menghindari penyakit degeneratif. Sementara 68% lainnya memilih berinvestasi lebih pada makanan dengan kandungan yang sesuai dengan diet mereka.

Alhasil berbagai produk dan jasa kesehatan merupakan kata kunci yang kerap dicari para pembeli online. Mulai dari makanan sehat, alat olahraga, perawatan medis, bahkan asuransi kesehatan.

“Seluruh produk yang ada di Fits.id telah kami kurasi untuk dapat menunjang kebutuhan masyarakat akan kesehatan raga, pikiran, dan jiwa karena kami percaya konsep kesehatan itu tidak bisa berdiri sendiri,” tambah E-Commerce Manager Fits.id Sheila Rizkia.

Fits.id mengurasi merchant agar dapat menyediakan 12 pilihan produk dan jasa kesehatan yang secara holistik mencakup makanan sehat, produk olahraga, perawatan diri, medical check-up, paket wisata, hingga asuransi. Di samping itu, ada fitur potongan harga Hot Deals dan Wellness Calculator untuk memberikan rekomendasi produk asuransi dan wellness yang sesuai.

Tersedia pula fitur Insurance Comparison untuk memudahkan konsumen membandingkan produk asuransi sesuai gaya hidup masing-masing konsumen. Fits.id, sambung Sheila, didukung situs agregator produk asuransi Integra. Baik Integra maupun Fits.id adalah perusahaan afiliasi dengan nama badan hukum berbeda.

Rencana tahun ini

Secara terpisah kepada DailySocial, Sheila menambahkan sejauh ini layanan Fits.id baru bisa diakses via desktop dan akan terus disempurnakan agar konsumen nyaman berbelanja di situs. Fitur akan terus ditambah, begitu pula dengan kategori produk baru agar konsumen punya banyak pilihan.

Rencana peluncuran aplikasi masih dalam proses pematangan konsep dan user experience, agar ketika diluncurkan dapat diterima dengan baik oleh konsumen. “Untuk jangka panjangnya, tentunya kami ingin menjadi satu-satunya one stop wellness e-commerce yang dituju masyarakat Indonesia.”

Seiring dengan target tersebut, Sheila menyebut saat ini perusahaan belum berencana memonetisasi bisnisnya. Layaknya perusahaan e-commerce lain di awal pertumbuhan, perusahaan masih fokus memperbaiki konten, meningkatkan kualitas user experience, brand awareness, menumbuhkan kepercayaan, dan reputasi.

“Ketika fase tersebut sudah sempurna, kami yakin seluruh pihak di Fits.id akan tumbuh bersama dengan meningkatnya volume penjualan yang tinggi dan meningkatnya margin pendapatan. Secara operasional kami juga ada toko offline yang sudah memiliki basis konsumen yang cukup luas.”

Sheila menyebutkan pendanaan operasional masih berasal dari shareholder internal Fits.id dan belum berencana untuk penggalangan dana, meski tidak menutup opsi tersebut di masa depan.

Source : https://dailysocial.id/post/platform-e-commerce-wellness-fits-id

 

 


Indonesia’s logistics industry will enjoy double-digit growth this year, thanks to booming e-commerce and a string of new bonded logistics centres.
According to the Indonesian Logistics Association (ALI), the industry will grow 10-12% this year, while e-commerce will expand by up to 30%.
“E-commerce in Indonesia has driven express business growth exponentially for the last five years, with a lot of new express logistics companies launching,” said ALI chairman Zaldy Masita.
“The challenge is that there is little logistics standardisation in Indonesia, so it’s very difficult to implement automation systems that could increase productivity. Indonesia’s geography of 17,000 islands is a big challenge for newcomers from overseas.”
However, he added: “The e-commerce opportunity is still wide open, with the portion of e-commerce of total retail sales still below 5% – so there’s plenty of room for further growth,”
Mr Masita is also confident Indonesia’s new bonded logistics centres (PLBs) give the country a much-needed advantage over rivals Singapore and Malaysia, where logistics costs are roughly half.
The centres act as “mini free-trade zones”, deployed strategically throughout the country, helping reduce storage costs for importers and exporters. The first 11 opened in 2016, another 50 launched last year and a second generation is under development.
“PLBs will bring regional warehouses in ASEAN to be based in Indonesia,” claimed Mr Masita. “As the biggest economy in ASEAN, Indonesia consumes the majority of products, so it makes sense if more warehousing is here to save logistics costs.
“They provide the opportunity for cargo owners to postpone duties and taxes until the goods are sold to Indonesian consumers, and also allow for goods to be re-exported up to three years later without paying any tax.”
He said PLBs could be a threat to Singapore and Malaysia, which act as regional distribution centres via their free-trade zones, if Indonesia could gain more direct air and sea links with other ASEAN markets.
“One of the strengths of the PLBs is they are all over Indonesia, so there’s no need to attach the free-trade zone complex as in other countries,” he added.
Indonesia’s director general of customs and excise, Heru Pambudi, recently claimed importers could save US$500 per container by storing goods at the PLBs instead of in Singapore, and that the policy had already drawn $606m of inventory away from the city state.
According to Sutomo Asngadi, a local trade compliance consultant, this is possible because PLBs expedite customs checks and reduce container dwell times at Indonesian ports.
“Since there is no pre-clearance activity, the container can be removed from the port to a PLB in only one day. So the dwell time is shortened compared with general imports, which still take and average of 3.36 days,” he told The Loadstar.
He said commodities currently stored in PLBs included cargo for the textile, oil and gas, mining, chemicals and automotive industries, as well as raw materials for food and beverage products.
PLBs have online licensing and permit procedures, Mr Asngadi noted,
Source : https://theloadstar.co.uk/indonesian-logistics-benefits-booming-e-commerce-leads-cheaper-plbs/


by: Aditya Hadi Pratama

Inti berita

  • Pada 14 Agustus 2018, aplikasi olahraga asal Singapura Rovo menyatakan kepada Tech in Asia bahwa mereka telah mendapat pendanaan tahap awal (seed funding) sebesar US$473.000 (sekitar Rp6,9 miliar)
  • Investasi tersebut dipimpin oleh East Ventures, dan diikuti oleh Golden Gate Ventures.
  • Saat ini, Rovo telah beroperasi di beberapa negara Asia, seperti Indonesia, Singapura, Filipina, Malaysia, dan India.

Continue reading →